jump to navigation

Sutiyoso Calon Presiden 2009 Oktober 25, 2007

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Pernyataan Gubernur DKI Sutiyoso (Bang Yos) tentang kesiapan dirinya menjadi capres 2009 merupakan peristiwa politik yang menarik. Sebagai gubernur DKI dua periode yang akan mengakhiri masa tugasnya, Bang Yos mempersilahkan rakyat menilai “kepantasannya” menjadi calon pemimpin nasional. Kesediaannya untuk dinilai rakyat selama satu setengah tahun menjelang Pilpres 2009, sangat fenomenal.

Bang Yos seolah-olah memberi jawaban kepada publik bahwa ada juga tokoh alternatif di tengah kejenuhan rakyat terhadap para capres stok lama. Sudah jamak diketahui bahwa rakyat ingin pada Pilpres 2009 nanti ada capres baru diluar para capres 2004.

Bila dirunut dari langkah-langkah politik Bang Yos sejah 1-2 tahun terakhir ini, agaknya Bang Yos sudah mempersiapkan diri untuk jadi capres 2009. Pernah merintis pembentukan parpol baru (meskipun akhirnya dibatalkan). Dia tetap optimis akan mampu mendapatkan tiket politik untuk jadi capres. Perkembangan politik saat ini memang memungkinkan bagi capres lewat dua pintu politik.

Pertama, jalur capres lewat pintu independen. Kehadiran capres independen memang baru berupa wacana. Namun aspirasi rakyat soal itu sudah mulai menggelinding. Hal itu disulut keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengijinkan calon independen dalam pilkada. Meskipun dalam pernyataan Bang Yos juga menyinggung kemungkinan capres jalur independen, tapi rasanya jauh panggang dari api. Entah kalau Pilpres 2014 nanti.

Sebab, selama ini sejumlah tokoh parpol besar di Senayan secara terang-terangan menyatakan menolak wacana capres independen yang sedang muncul di masyarakat. Alasan penolakan mereka adalah karena belum adanya landasan hukum yang mengatur keberadaan capres independen. Sikap mereka seolah-olah memberikan warning bahwa merubah payung hukum yang dijadikan pijakan masuknya cepres independen perlu waktu minimal empat tahun. Tentu yang dimaksudkan adalah melalui proses amandemen UUD 1945.

Memang harus diakui, kalangan DPR tidak bisa menghalangi desakan perlunya capres independen. Desakan capres independen itu, sebenarnya satu paket dengan usulan calon kepala daerah (cakada) independen. Namun, terdapat aturan dan payung hukumnya yang berbeda antara usulan capres independen dan cakada independen. Politisi di DPR merasa “klenger” terhadap putusan MK yang menginjinkan cakada independen. Fraksi-fraksi di DPR sebenarnya keberatan masuknya cakada independen, tapi mereka tidak punya kekuatan hukum untuk menolak putusan MK.

Kedua, capres jalur parpol. Sinyal ini cukup jelas dikemukakan Bang Yos dalam deklarasi kesiapannya jadi capres 2009. Yang menarik adalah akan terjadi saling mendekat antara Bang Yos dengan gabungan parpol yang selama ini telah diayomi. Prediksi saya, saat ini Bang Yos sudah ada bargaining dengan parpol-parpol tertentu untuk mengusung dirinya sebagai capres. Faktor itu yang melatarbelakangi keberanian Bang Yos membuat deklarasi capres.

Sayangnya Bang Yos tidak secara terang-terangan menyebut parpol mana saja yang sudah diayomi. Sehingga, publik menjadi penasaran dan menduga-duga parpol mana yang bakal menjadi kendaraan politik Bang Yos. Meskipun demikian, deklarasi Bang Yos yang didukung mantan Wapres Try Sutrisno itu patut diperhitungkan oleh elit politik nasional lainnya.

Sehari setelah deklarasi, Bang Yos mengunjungi Mbah Marijan di lereng gunung Merapi. Dia minta restu sekaligus menepati janjinya mengenalkan diri kepada masyarakat. Dia sadar bahwa namanya cukup populer di DKI, namun di daerah lain baru sedikit orang mengenalnya. Ke depan, safari politik seperti itu akan lebih diintensifkan, terutama setelah dia pensiun dari gubernur, waktunya cukup longgar.

Deklarasi Bang Yos mendapat tanggapan beragam dari sejumlah parpol besar yang pernah mengusung capres pada pemilu 2004. PDIP merasa bersyukur karena sejumlah mantan juru kampanye SBY, terutama dari kalangan purnawirawan jendral TNI, kini beralih mendukung Bang Yos. Artinya, kekuatan dukungan SBY bisa berkurang, dan keadaan itu menguntungkan capres PDIP kelak. Hal itu dikemukakan ketua DPP PDIP Tjahyo Kumolo.

Sedangkan Partai Golkar dan Partai Demokrat merasa tidak perlu tergesa-gesa mengumumkan capresnya. Sikap mereka bisa dimaklumi karena posisinya incumbent dalam Pilpres 2009. SBY dan Jusuf Kalla, andaikata pecah kongsi politik dan sama-sama maju jadi capres, popularitas namanya sudah cukup dikenal rakyat. Posisi capres Megawati pun sudah tersosialisasi secara otomatis karena PDIP tidak punya calon unggulan lainnya. Demikian pula dengan PKB, andaikata bertekad mencapreskan Gus Dur, tentu sosialisasinya tidak begitu sulit.

Kalau dicermati, dua parpol besar yakni PPP dan PAN, memberi sinyal tidak memungkinkan mencapreskan jago lama. Dua parpol ini pada pilpres 2004 punya capres sendiri. PPP mengusung Hamzah Haz, dan PAN mengusung Amien Rais. Kini, PPP dan PAN sama-sama menjajagi dan mencari capres baru.

Dari gelagat politik yang dilakukan Sutrisno Bachir dan Suryadharma Ali, sangat memungkinkan mereka serius membangun koalisi strategis di pilpres 2009. Sangat tidak menguntungkan kalau PPP dan PAN mengusung capres sendiri-sendiri.

Mungkinkah Bang Yos akan diberangkan koalisi PPP dan PAN? Belum ada bukti empiris untuk bisa disimpulkan kearah itu. Gejala yang muncul baru berupa wacana yang dilontarkan Sutrisno Bachir. Saudagar asal Pekalongan ini mewacanakan capres dari kalangan muda, dan beberapa gubernur yang dianggap sukses memimpin daerahnya. Bang Yos, meskipun bukan tokoh muda, dia termasuk salah satu figur yang disebut-sebut Sutrisno Bachir.

Terlepas dari parpol mana yang bakal dipakai kendaraan politik Bang Yos menuju Pilpres 2009, deklarasi lebih awal seperti ini punya nilai positip. Rakyat memiliki informasi yang cukup tentang capres yang akan maju pada Pilpres 2009. Paling tidak, rakyat tidak terjebak memilih kucing dalam karung. Dalam konteks ini, deklarasi Bang Yos sedini mungkin, punya andil positip. Soal menang atau kalah dalam pilpres 2009, rakyat yang punya hak menentukan.  

Perampingan Parpol dan Profesionalisme Manajemen Politik September 21, 2006

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , , , , , , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Gagasan merampingkan jumlah parpol kembali digelorakan para politisi tingkat nasional. Sasaran perampingan parpol itu untuk peserta pemilu 2009. Sejumlah parpol besar tentu sangat mudah menyetujui gagasan parampingan. Sebab, parpol mereka telah siap dan pasti aman dari penggusuran. Hal itu beda dengan sikap parpol kecil baik yang sekarang punya wakil di lembaga legislatif maupun yang tidak punya wakil sama sekali.

Dalam sejarah politik di Indonesia, variasi jumlah parpol peserta pemilu mengalami pasang surut tergantung sistem politik yang berlaku. Pemilu 1955 diikuti lebih dari 40 parpol, pemilu 1971 diikuti 10 parpol, pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti 3 parpol. Sejak pemilu 1971 hingga pemilu 1997 semua peserta pemilu menggunakan nama partai, hanya satu yang namanya tidak memakai partai yakni Golongan Karya (Golkar). Sistem politik yang mengantarkan pemilu 1971 hingga pemilu 1997 telah terbukti mampu melanggengkan kekuasaan orde baru.

Setelah pemerintahan orde baru tumbang akibat gerakan reformasi 1998, maka terjadi perubahan sistem politik. Pemilu berikutnya dimajukan menjadi tahun 1999 dan diikuti 48 parpol. Hasil pemilu 1999 menunjukkan eksistensi parpol sehingga dikenal dengan istilah parpol besar dan parpol gurem. UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu membatasi perolehan suara dibawah electoral threshold (ET) 2 persen tidak diperbolehkan mengikuti pemilu 2004. Sehingga sejumlah parpol gurem harus berubah nama, lambang, pengurus pusat, agar bisa menjadi peserta pemilu 2004.

Perolehan suara 24 parpol pada pemilu 2004 membuktikan hanya Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKB, PPP, PAN tetap bertengger sebagai parpol besar. Disamping itu masih ada parpol besar lainnya yakni Partai Demokrat (parpol baru) dan PKS (bekas Partai Keadilan). Sisanya sebanyak 17 parpol memperoleh suara dibawah 3 persen, sehingga parpol gurem ini terkena sanksi tidak bisa mengikuti pemilu 2009. Kini, sejumlah parpol gurem tersebut ancang-ancang untuk merubah nama, lambang dan pengurus pusat supaya bisa ikut pemilu 2009.

Jika ingin membatasi jumlah parpol peserta pemilu, maka persyaratan ET harus diperketat. Sejumlah wacana sudah melontarkan idealnya parpol yang boleh bertahan hidup dan ikut pemilu adalah parpol yang memiliki perolehan suara minimal 15 persen pada pemilu sebelumnya. Bila gagasan perampingan parpol itu gol menjadi UU revisi UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu 2009, maka tamat sudah riwayat parpol gurem. Selanjutnya pemilu 2014 hanya diikuti antara 6-8 parpol saja.

Perampingan jumlah parpol diharapkan dapat menjadi momentum perubahan budaya baru dalam bidang politik. Pertama, bisa meningkatkan kualitas parpol. Rakyat pemilih dalam pemilu 2014 hanya menjumpai sedikit parpol yang benar-benar siap mengikuti pemilu. Persaingan antar parpol besar menjadi lebih fokus untuk menarik simpati rakyat pemilih dalam pemilu yang benar-benar sehat dan ketat. Harus diakui bahwa pelaksanaan pemilu dengan multi partai selama ini cukup membingungkan rakyat dalam menyalurkan aspirasinya.

Kedua, para politisi dituntut untuk menunjukkan profesionalitasnya dalam mengelolah parpol. Sebab, jika parpolnya tidak laku dalam pemilu 2009, maka seterusnya tidak bisa ikut pemilu dan para pengurusnya tidak bisa memuat parpol baru lagi. Sistem ini dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab pengurus parpol terhadap kinerja parpolnya. Dalam jangka waktu 5-10 tahun lagi setiap parpol akan memiliki pemilih tradisional (pemilih tetap) yang dapat dibina untuk jangka panjang.

Ketiga, pemerintah yang berkuasa setelah memenangkan pemilu dapat lebih mudah melakukan konsolidasi. Koalisi politik antara beberapa parpol juga bisa dibangun secara sehat karena sama-sama memiliki legitimasi kuat di mata rakyat. Akan ada dua koalisi besar dalam sistem politik yang bakal berkembang nanti. Yaitu koalisi parpol pemerintah dan koalisi parpol oposisi.

Komposisi fraksi-fraksi di lembaga legislatif pun akan lebih memiliki identitas yang jelas. Sebuah fraksi menjadi identik dengan parpolnya karena nama fraksi juga mencerminkan nama parpol tunggal. Tidak ada lagi sebuah fraksi yang isinya gabungan dari beberapa parpol. Apalagi kadang-kadang parpol yang ternaung dalam fraksi gabungan memiliki ideologi politik yang berbeda. Arah perjuangan fraksi gabungan seringkali tidak bisa fokus untuk kepentingan perjuangan aspirasi konstituennya.

Aspirasi perampingan jumlah parpol ini harus dimaknai sebagai ikhtiar yang rasional. Tujuannya benar-benar untuk peningkatan peran parpol ke depan. Jika parpolnya berkualitas, pelaksanaan pemilunya berkualitas, maka proses demokrasi juga akan berjalan secara berkualitas. Dalam situasi politik yang serba berkualitas ini diharapkan jalannya roda pemerintahan menjadi lebih mantap. Karena segala kebijakannya akan mendapat kontrol yang ketat dari lembaga legislatif terutama dari koalisi parpol oposisi.

Megawati Bertekad Saingi Golkar 2009 Desember 22, 2005

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Meskipun pelaksanaan Pemilu 2009 masih kurang dari 3 tahun, ketua umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sudah mengeluarkan pernyataan politik untuk menyaingi Partai Golkar. Pernyataan itu menandai optimisme Mega untuk dapat merebut kembali kemenangan pemilu legislatif seperti pemilu 1999 dan siap menebus kekalahannya dalam pilpres 2004. Mega mengistilahkan kekalahannya di pilpres 2004 lalu hanya sebagai kekurangan suara. Putri Bung Karno ini bertekad merebut suara yang kurang itu pada pilpres 2009 nanti.

Faktor lain yang mendukung optimisme Mega adalah hasil pilkada tahap pertama tahun 2005 ternyata PDIP telah meraih kemenangan 42 persen. Kalkulasi itu untuk pemilihan bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota. Sedangkan diantara enam pilkada di tingkat propinsi, PDIP sudah meraih empat gubernur. Tapi masih ada faktor lain yang lupa diperhitungkan oleh Mega. Yakni kondisi internal Partai Golkar yang sedang solid, sedangkan PDIP mengalami perpecahan dengan berdirinya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).

Memang, PDP pimpinan Roy BB Janis dan kawan-kawan tidak akan bisa mengalahkan PDIP dalam Pemilu 2009. Hal itu sama dengan PNBK pimpinan Erros Djarot dan PITA pimpinan Dimyati Hartono pada Pemilu 2004. PNBK tidak mampu menyaingi PDIP, tapi bersama dengan PITA terbukti mampu menggerogoti suara PDIP. Itulah salah satu andil PDIP dikalahkan oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004.

Maka, sebenarnya kehadiran PDP itu punya peluang lebih besar untuk menggembosi suara PDIP ke depan. Potensi penggembosan PDP bisa lebih besar dari PNBK dan PITA. Karena PDP lebih banyak dibidani oleh para tokoh sentral di PDIP seperti Roy BB Janis, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Noviantika Nasution, dan lain-lain. Sedangkan PNBK hanya dua tokoh sentral (Erros Djarot, Hartas), dan PITA hanya seorang Dimyati Hartono.

Kendala lain yang dihadapi PDIP adalah masih sentralnya kekuasaan di tangan ketua umum dan ketergantungan partai pada sosok Megawati. Padahal untuk menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi kader partai diperlukan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pengurus daerah. Termasuk dalam hal menentukan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pengurus daerah juga akan menumbuhkan sikap pencarian alternatif sosok calon presiden dari PDIP.

Pencarian alternatif capres ini harus didasarkan pada perhitungan kekalahan Megawati pada pilpres 2004. Pemenangnya justru Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang termasuk figur baru dalam kancah pencalonan presiden. Di negeri ini belum ada contoh secara empiris seorang mantan presiden yang sudah lengser selama satu periode, dapat popular dan kembali berhasil meraih kemenangan pada pemilu berikutnya. Maka, pencalonan kembali Megawati dalam pilpres 2009 nanti perlu dipertimbangankan dari sudut pandang ini.

Apalagi persaingan dalam pilpres 2009 nanti minimal terhadap dua figur populer diluar sosok Megawati. Mereka adalah SBY dan Yusuf Kalla yang kemungkinan besar akan maju sendiri-sendiri dalam pilpres 2009. Keduanya sudah memiliki kendaraan politik yang sama-sama siap mengahadpi pilpres. Untuk menyaingi SBY dan Kalla perlu dicarikan figur baru yang lebih memiliki daya jual tinggi di mata rakyat. Sebab, seorang tokoh yang populer di internal parpolnya belum tentu punya daya jual tinggi di hadapan rakyat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, masalah serius yang dihadapi PDIP adalah sangat sulit mencari figur selain Megawati.

Dan faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja kader PDIP yang duduk di lembaga legislatif. Tingkat kepuasan rakyat itu hanya satu, yakni sampai sejauhmana PDIP membela kesejahteraan wong cilik. Sebab, merosotnya suara PDIP pada Pemilu 2004 lalu disebabkan kinerja kadernya di lembaga legislatif dianggap tidak peka lagi dengan kehidupan wong cilik. Kader PDIP di DPR dan DPRD hasil Pemilu 2004 sampai kini pun belum menunjukkan tanda-tanda signifikan untuk mewujudkan perjuangan terhadap kesejahteraan wong cilik ini.

Untuk menarik simpati wong cilik ke depan, mungkin PDIP sangat berharap dengan langkah politiknya menjadi oposisi terhadap pemerintahan SBY-Kalla. Sikap oposisi ini tidak bisa diterapkan secara nasional terhadap seluruh pemerintahan di daerah. Sebab, tidak seluruh daerah dipimpin oleh pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang aliran politiknya sama dengan SBY-Kalla. Bahkan, sikap oposisi terhadap pemerintah itu bisa kontra produktif ketika berada di daerah yang kebetulan kepala daerah atau wakilnya dijabat kader PDIP.

Kalau mau obyektif, PDIP perlu melakukan penelitian politik untuk mendeteksi umpan balik dari rakyat terhadap sikap oposisi terhadap pemerintahan saat ini. Jika ternyata, hasil penelitian ini tidak signifikan untuk menambah simpati rakyat terhadap PDIP, maka tekad Megawati untuk menyaingi Partai Golkar pada Pemilu 2009 nanti hanya mimpi belaka.