jump to navigation

Komisi Politik Organisasi Kemasyarakatan Agustus 3, 2006

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Munas dan Konbes Alim Ulama NU yang diselenggarakan di Surabaya 28-30 Juli 2006 merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk komisi yang diberi istilah maslahah ammah. Secara garis besar, komisi (jika PBNU setuju menjadi keputusan resmi organisasi) ini bertugas menjembatani macetnya komunikasi antar ulama NU akibat perbedaan pandangan politik. Munculnya rekomendasi ini didasari banyaknya warga NU yang berada di parpol-parpol.

Mengapa muncul rekomendasi agar PBNU membentuk komisi politik semacam itu? Padahal selama ini dalam struktur PBNU sudah ada Biro Politik yang sebenarnya salah fungsinya adalah untuk menangani masalah politik yang melibatkan warga NU. Di forum Munas dan Konbes Alim Ulama tersebut berkembang usulan agar PBNU memfasilitasi pembentukan parpol baru sebagai pengganti PKB. Parpol baru ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali ulama NU yang terpecah akibat dualisme PKB. Usulan itu ditolak peserta lainnya sehingga muncul usulan pembentukan komisi maslahah. Tapi pembentukan komisi maslahah juga tidak luput dari motivasi dan harapan agar bisa menengahi konflik politik PKB.

Memang, ketua umum PBNU Hasyim Muzadi membantah kalau rencana pembentukan komisi maslahah tersebut ada kaitannya dengan perpecahan PKB. Hasyim bilang bahwa komisi maslahah bertugas memberi bimbingan politik kepada warga NU yang ada di semua parpol. Namun, publik sudah paham betul kemana arahnya sampai-sampai forum penting seperti Munas dan Konbes Alim Ulama ini mengeluarkan rekomendasi agar PBNU membentuk semacam komisi politik tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dua PKB yang kini bertikai belum pernah secara resmi minta atau menyerahkan penanganan konflik politik yang melanda parpol “milik” warga NU itu. Yang terjadi adalah PKB versi Muhaimin Iskandar dan PKB versi Choirul Anam sama-sama mendekati PBNU agar mendukung kubunya masing-masing. Hal itu terjadi karena dua kubu PKB tersebut sama-sama merasa paling benar.

Di luar langkah tersebut, kedua kubu PKB justru secara resmi menyelesaikan konflik politiknya kepada lembaga peradilan. Sehingga tidak heran bila keluar komentar Hasyim Muzadi yang bernada sindiran. Hasyim menganggap para elit dua kubu PKB lebih percaya kepada pengadilan. Maka Hasyim mempersilakan menunggu putusan pengadilan. Dan mereka dianggap masih mampu menyelesaikan masalahnya tanpa campur tangan PBNU.

Soal kelanjutan dari rekomendasi agar PBNU membentuk komisi maslahah, masih akan dilakukan kajian lagi. Termasuk garis besar tugasnya perlu diperjelas, sebab PBNU sudah punya Biro Politik meskipun ternyata tidak efektif. Dan sebenarnya, lembaga semacam komisi yang mengurusi masalah-masalah politik ini sudah umum dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia. Untuk memberi nama pada lembaga khusus ini ada beberapa istilah yang dipakainya. Misal biro, departemen, komisi, majelis dan sebagainya. Agaknya pembentukan lembaga semacam komisi politik ini sudah menjadi kebutuhan bagi setiap ormas. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengkaji secara khusus tentang perkembangan politik dan kebijakan pemerintahan. Hasil dari kajian itulah yang dipakai sebagai pedoman pimpinan ormas dalam menyikapi persoalan-persoalan politik yang sedang terjadi.

Komisi politik tidak sepenuhnya bersifat otonom, karena pengangkatan pengurusnya menjadi kewenangan pimpinan ormas yang bersangkutan. Produk kerjanya juga diperuntukan sebagai konsumsi intern ormas. Selanjutnya pimpinan ormas yang memiliki otoritas untuk menyampaikan sikap politiknya kepada publik. Sehingga keberadaan komisi politik ini tidak mungkin punya keleluasaan untuk berkiprah di area eksternal ormas. Otomatis, komisi politik ormas tidak bisa diharapkan punya jaringan komunikasi politik dengan pihak-pihak di luar ormas yang bersangkutan.

Maka, ketika ada konflik politik praktis di suatu parpol yang secara tidak langsung membawa dampak organisatoris terhadap ormas, maka komisi politik tidak akan mampu berbuat banyak. Sebab, ada jurang pemisah antara wilayah kerja komisi politik yang berkutat pada wacana dengan problem riil di wilayah politik praktis. Dari sisi inilah kelihatan komisi politik menjadi mandul. Tidak mampu menembus akar persoalan yang melatarbelakangi konflik politik di parpol tersebut.

Sebab, konflik di suatu parpol lebih berorientasi pada kepentingan politik yang sangat pragmatis. Konflik kepentingan politik baik yang bersifat pribadi maupun kelompok, lebih mengutamakan pada perebutan kekuasaan dengan segala macam eksesnya. Sehingga pertarungan politiknya sangat jauh dari aspek moralitas. Maka, model penyelesaian konfliknya tidak akan sinkron dengan pendekatan moralitas yang selama ini sangat dijunjung tinggi oleh pimpinan ormas. Pendekatan moralitas biasanya selalu cenderung menengahi konflik politik dengan cara tidak ada yang dikalahkan atau dimenangkan.

Di pihak lain, konflik politik lebih memilih solusi yang harus memenangkan kelompoknya. Sehingga mereka yang berkonflik akan berusaha mencari solusi dengan cara merebut kemenangan melalui jalur legitimasi oleh negara. Kemenangan konflik politik dianggap memiliki kekuatan yang mantap bila negara memberikan pengakuan secara hukum. Dalam hal ini lembaga peradilan merupakan pintu utama untuk menyelesaikan konflik politik.

Sisi Politis Reshuffle Kabinet Terbatas Desember 8, 2005

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , , , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Akhirnya Presiden SBY memenuhi janjinya mengumumkan susunan kabinet hasil reshuffle 5 Desember 2005 di Istana Kepresidenan Jogyakarta. Meskipun SBY menepis anggapan bahwa dirinya tidak ditekan atau dipengaruhi oleh parpol maupun perorangan dalam merombak kabinetnya, tak akan mampu membentuk opini publik tentang faktor politis dibalik keputusan presiden tersebut. Tentu, publik belum puas dengan hasil rombak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang dianggap belum memenuhi aspirasi perubahan sesuai dengan tuntutan orang banyak. SBY lebih memilih posisi aman dalam menghadapi koalisi politik dengan sejumlah parpol pendukungnya. Kapling menteri untuk Partai Demokrat, PAN, PKS dan PBB tidak diotak-atik sama sekali. Bahkan jatah PKB juga tidak terkurangi dengan masuknya Erman Suparno di kursi Menteri Menakertrans sebagai kompensasi diberhentikannya Alwi Shihab (Menko Kesra).

Terkesan bahwa SBY sengaja merangkul dua kubu PKB yang kini sedang berseteru. Selama ini dua menteri dari PKB diduduki kubunya Choirul Anam-Kiyai Langitan. Mereka adalah Saifullah Yusuf (Menteri Percepatan Pembangunan) dan Alwi Shihab. Kini kedua kubu sudah terwakili dengan tampilnya Erman dari kubu Muhaimin-Gus Dur. Langkah ini menambah keyakinan bahwa SBY lebih mengutamakan politik posisi aman katimbang orientasi pemenuhan kebutuhan publik.

Menghadapi kekuatan Partai Golkar, nampak SBY tidak berani bersikap tegas. Hanya berani melakukan reposisi Menko Perekonomian Aburizal Bakrie dipindah jadi Menko Kesra dan Menakertrans Fahmi Idris ke kursi Menteri Perindusrtian. Bahkan jatah Partai Golkar bertambah satu yakni menempatkan Paskah Suzetta di Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas. Kini parpol pimpinan Wapres Jusuf Kalla tersebut bertambah satu kursi menteri di kabinet.

Namun, harus diakui bahwa kematangan berpolitik dari Partai Golkar sangat menonjol dalam menyikapi reshuffle kabinet ini. Meskipun berhasil mempertahankan Aburizal Bakrie dan Fahmi Idris dan memasukkan Paskah Suzzeta, tetap saja berdiplomasi menyatakan tidak puas dengan hasil reshuffle kabinet. Statemen politik yang disampaikan ketua DPP Partai Golkar Yahya Zaini bahwa Golkar merasa tidak puas karena hasil reshuffle tidak sesuai dengan semangat dan iklim aspirasi yang diputuskan dalam rapimnas akhir Nopember 2005 lalu.

Dengan munculnya statemen ini paling tidak Partai Golkar bisa luput dari sorotan bahwa dalam situasi tuntutan perombakan kabinet, justru bisa menambah kapling satu kursi menteri. Padahal situasi riil sebelumnya adalah terancamnya posisi Aburizal Bakrie (Menko Perekonomian) dan Fahmi Idris (Menakertrans) tercoret dari daftar kabinet karena dianggap prestasinya mengecewakan. Kini, mereka hanya direposisi ke pos lain di jajaran kabinet.

Unsur kehati-hatian SBY dalam melakukan perombakan kabinet ini, nampak sekali faktor kompromi politik menjadi pertimbangan utama. SBY hanya berani bersikap tergas terhadap para Andung Nitimihardja dan Yusuf Anwar, menteri yang berasal dari jalur independen dan profesional. Sedangkan terpentalnya Alwi Shihab lebih banyak karena faktor konflik internal PKB. Kini, SBY dapat merangkul dua kekuatan PKB dengan masuknya Erman Suparno di kabinet setelah dilengserkannya Alwi Shihab.

Kompensasi jabatan bagi ketiga mantan menteri ini juga sudah disiapkan posnya oleh pemerintah. Alwi dijadikan penasehat presiden untuk urusan dengan negara Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Yusuf Anwar disiapkan untuk jadi duta besar di negara maju. Pos baru untuk Andung juga sedang dibicarakan lebih lanjut. Model kompensasi seperti ini sudah bukan barang baru di negeri ini, lebih-lebih di jaman pemerintahan orde baru.

Realitas politik ini menimbulkan kekhawatiran publik bahwa setahun lagi bisa terulang peristiwa yang sama. Di saat pemerintah dinilai gagal dalam beberapa sektor pembangunan, dan sorotan rakyat yang ingin terjadi perombakan kabinet, maka sangat mungkin strategi kompromi politik ini diterapkan lagi oleh SBY. Dan buntutnya yang jadi korban adalah para menteri yang berasal dari jalur independen dan profesional. Siapa pun presidennya, faktor politik ternyata lebih mengedepan mengalahkan pertimbangan profesional dalam rekrutmen kabinet. Tanpa kecuali presidennya dijabat SBY.

Reshuffle Kabinet Utamakan Kompetensi November 17, 2005

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Akhir-akhir ini banyak manuver dari partai politik untuk menarik perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam mengevaluasi satu tahun kabinetnya. Manuver parpol tersebut berupa ancaman menarik dukungan kepada pemerintah, bakal menarik menterinya, hingga desakan merombak total kabinet. Hasil evaluasi satu tahun kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) diakui oleh SBY ada yang bagus dan ada pula yang belum.

Publik menilai pernyataan SBY itu mengarah pada isyarat bakal ada reshuffle kabinet. Peraturan perundang-undangan membolehkan presiden melakukan reshuffle kabinet sesuai dengan kewenangannya dalam sistem presidensial. Sehingga, komposisi KIB yang sekarang, tentunya bakal berubah seiring dengan hasil evaluasi. Perubahan komposisi kabinet itu termasuk keputusan politik dari seorang kepala negara. Tentu, keputusan tersebut mengandung resiko politik pula. 

Resiko politik itu berupa reaksi parpol, terutama yang selama ini ada kadernya duduk di kabinet sebagai imbalan menjadi pendukung SBY. Semua parpol pada golongan ini pasti berharap kuotanya tetap, bahkan kalau bisa bertambah. Untuk memenuhi selera politik ini, tentu tidak mudah bagi SBY. Karena, hasil evaluasi kinerja kabinet harus menjadi tolok ukur pertama untuk melakukan reshuffle. Langkah berikutnya adalah melakukan perombakan dengan tolok ukur mengutamakan kompetensi.

Agaknya, wacana mengutamakan kompetensi ini sudah mulai dikemukakan Partai Demokrat melalui Anas Urbaningrum, salah satu ketua DPP parpol ini. Anas mengibaratkan manuver parpol-parpol itu sebagai bunga-bunga demokrasi. Parpol memang punya hak untuk melakukan ikhtiar politik agar pihaknya tidak menjadi korban kebijakan SBY dalam reshuffle kabinet. Mantan anggota KPU ini kembali mengingatkan bahwa penyusunan kabinet merupakan hak penuh SBY sesuai dengan sistem presidensial. Ditambahkan pula bahwa SBY harus mengutamakan asas kompetensi dalam melakukan reshuffle kabinet.

Jika benar-benar SBY mengutamakan faktor kompetensi, maka kepentingan parpol pendukungnya harus diabaikan. Pasti akan terjadi kerenggangan hubungan politik antara SBY dengan elit parpol yang merasa jadi korban reshuffle. Hal semacam itu tidak berlaku pada PDIP yang sejak awal sudah menyatakan oposisi terhadap pemerintah. Tentu, PDIP juga tidak memanfaatkan memasukkan kadernya dalam struktur kabinet hasil reshuffle nanti.

Yang justru ketir-ketir adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sedangkan Partai Golkar (PG) relatif merasa lebih aman karena faktor posisi ketua umumnya di kursi wapres. Publik menilai, dalam mengahadapi PG, pasti SBY akan mengkosultasikan dengan Jusuf Kalla. Sehingga, makna mengutamakan kompetensi akan berjalan sesuai dengan hasil kompromi politik SBY-JK.

Terhadap parpol lainnya, SBY bisa bersikap tegas dalam reshuffle kabinet dengan mengutamakan kompetensi. Andaikata terjadi reaksi politik pun dari parpol-parpol ini, dampaknya terhadap suara rakyat hampir tidak berpengaruh. Karena, pada umumnya rakyat menilai parpol-parpol tersebut bukan sebagai tumpuan harapan perubahan di masa depan. Perangai parpol-parpol tersebut sudah menjadi opini rakyat sejak pemilu 2004 lalu.

Namun, sedikit berbeda dengan PKS yang oleh rakyat selama ini dikesankan sebagai parpol alternatif di masa depan. Dukungan PKS terhadap pemerintahan SBY saat ini benar-benar menjadi dilematis. Hal itu terjadi setelah SBY menaikkan harga BBM sangat ditentang rakyat. Rakyat menganggap peran PKS sudah mulai luntur dalam hal pemihakan terhadap amanat penderitaan rakyat. Kesan itu bisa dihapus andaikata PKS menarik dukungan terhadap pemerintahan SBY ketika BBM naik. Dan strategi itu ternyata tidak dilakukan PKS.

Kini, PKS sudah kehilangan momentum strategis untuk mengembalikan citra diri sebagai parpol alternatif. PKS telah menjadi seperti parpol konvensional lainnya. Opini publik yang simpatik terhadap PKS yang pernah ditunjukkan pada pemilu 2004 lalu, tidak bakal terulang lagi pada pemilu 2009. Suara yang mendukung PKS pada pemilu 2009 nanti hanya dari kalangan internal parpol ini yang masih fanatik.

Oleh karena itu bila PKS mengkritisi SBY pasca reshuffle kabinet nanti, maka tidak ada pengaruhnya bagi opini publik. Karena, rakyat sudah faham bahwa sikap kritisnya itu pasti karena tergusurnya porsi PKS di kabinet hasil reshuffle. Artinya sikap PKS itu sama saja dengan menegaskan jati dirinya berjuang untuk kepentingan parpolnya semata-mata. Perubahan opini publik semacam ini telah merugikan citra politik PKS yang sudah dibangun sangat bagus sejak pemilu 1999. PKS sudah tidak beda dengan perangai parpol konvesional lainnya yang mengutamakan kekuasaan diatas kepentingan rakyat secara umum.

Meskipun nantinya PKS akan berubah menjadi partai oposisi terhadap pemerintahan SBY, tidak akan membawa parpol ini ke jenjang kepeloporan dalam mengkritisi pemerintah. Karena, tahta opsisi itu sudah diambil alih PDIP sejak usainya pemilihan presiden 2004. Itulah maknanya bila PKS menarik dukungan terhadap SBY pasca reshuffle kabinet. Sedangkan bila PKS tetap dalam barisan pendukung SBY, maka makin lengkap predikatnya sebagai parpol konvensional.

Perpecahan Resmi PKB Sebelum Putusan Kasasi MA Oktober 13, 2005

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Konflik internal di tubuh PKB secara resmi sudah pecah jadi dua yang tidak mungkin dilakukan islah. Hal itu ditandai dengan selesainya penyelenggaraan muktamar PKB versi Alwi Sihab dan Saifullah Yusuf di Surabaya, 1-2 Oktober 2005 lalu. Di muktamar Surabaya ini Alwi-Saiful meletakkan jabatan secara resmi sebagai ketua umum dan sekjen. Kepemimpinan DPP PKB beralih ke tangan Choirul Anam (Jatim) dan Idam Chalied (Jateng). Komposisi ini dilengkapi dengan terpilihnya KH Abdurrahman Chudhori sebagai ketua Dewan Syuro. Alwi Sihab dipasang sebagai sekretaris Dewan Syuro. Di jajaran Musytasyar ditempati KH Abdullah Faqih sebagai rois dan KH Ma’ruf Amin sebagai sekretaris.

Menanggapi hasil muktamar versi Alwi tersebut, Gus Dur menyatakan tertutup pintu islah. Sedangkan Choirul Anam menyatakan program tetap jalan. Artinya, Anam akan segera mendaftarkan kepengurusan PKB hasil muktamar Surabaya ke Departemen Hukum dan HAM. Proses hukum itu dilalui setelah komposisi kepengurusan di notariskan dulu. Proses selanjutnya, tentu menunggu hasil kasasi di Mahkamah Agung (MA). Bagaimana pun MA nantinya pasti hanya mengakui salah satu kubu dalam PKB.

Melihat perkembangan ini rasanya berat untuk diharapkan kedua kubu melakukan islah. Tapi, pakar politik Unair Kacung Marijan justru pintu inslah masih terbuka melalui proses kultural model NU. Kacung yang dikenal sebagai pengamat NU ini menilai terpilihnya Choirul Anam menggantikan Alwi Shihab adalah bagian dari skenario untuk menganalkan konflik PKB.

Alasannya, Saifullah Yusuf memiliki peran besar untuk mempersempit konflik jika kelak putusan MA memenangkan kubu Gus Dur-Muhaimin. Karena sejak awal komitmen Saiful adalah menghormati keputusan hukum. Setelah proses hukum dari MA turun, akan ada proses kultural model NU untuk mengakhiri konflik. Caranya lewat pertemuan antara Saiful, Gus Dur dan para kiai sepuh.

Persoalannya adalah bagaimana jika ternyata putusan MA memenangkan kubu Alwi-Saiful. Apakah Gus Dur mau mengalah dengan alasan menghormati putusan MA? Perkembangan inilah yang sangat ditunggu oleh semua pihak. Sebab, bagaimana pun format PKB ke depan akan sangat menentukan peran parpol kaum nahdliyyin itu dalam menyongsong pemilu 2009 nanti. NU pasti tidak ingin kehilangan kekuatan politiknya baik di lembaga legislatif maupun pemerintahan.

Pengalaman pada pemilu 2004 yang lalu sudah cukup memberi pelajaran berharga bagi NU dan PKB. Pada saat itu PKB solid secara organisatoris, sehingga perolehan suaranya meningkat pada pemilu legislatif. Tapi pada tahapan berikutnya gagal meraih kemenangan saat pilpres. NU dan PKB terjadi kesenjangan, akibatnya keduanya tidak memiliki peluang untuk merebut kursi presiden dan wapres.

Gus Sholah yang dijagokan PKB untuk berpasangan dengan Wiranto (capres Partai Golkar) ternyata gagal menuju putaran kedua pilpres 2004. Sementara ketua umum PBNU Hasyim Muzadi yang dipasangkan dengan Megawati (capres PDIP) juga gagal pada putaran kedua pilpres 2004. Tentu kalangan PKB dan NU sudah punya analisa tersendiri agar kegagalan serupa tidak terulang lagi pada pemilu 2009. Itu pun andaikata kondisi internal PKB masih tetap solid dan hubungan dengan jajaran NU struktural juga tetap mesra.

Belajar dari pengalaman konflik PKB yang sekarang, ada satu hal yang mesti dicermati. Besarnya potensi politik yang dimiliki warga nahdliyyin mengandung resiko tinggi untuk diincar pihak luar. Untuk membendung kekuatan dari luar tersebut, bukan pekerjaan mudah bagi NU. Kini, sejarah telah mencatat bahwa di kalangan NU sudah tidak punya tokoh kharismatik yang mampu menyatukan warganya dalam satu langkah politik. Gus Dur meskipun masih diakui sebagai figur panutan di kalangan NU, tapi tidak berhasil juga dalam menjaga kekompakan di internal PKB.

Seiring dengan itu, makin menguatnya pengaruh KH Hasyim Muzadi di kalangan NU secara struktural, harus diakui bahwa ada pengurangan porsi Gus Dur dalam mengendalikan warga nahdliyyin. Artinya, faktor kunci yang menentukan tingkat bargaining di kalangan NU masih memungkinkan munculnya figur alternatif. Tinggal tergantung situasi politik yang berlangsung di masa akan datang. Figur alternatif itu akan menjadi makin besar kalau Gus Dur melawan besarnya arus politik secara kontemporer.

Faktor inilah yang menjadi kekhawatiran banyak pihak bila ternyata putusan MA mengalahkan kubu Alwi-Saiful. Dan bila mereka kemudian menggiring terbentuknya parpol baru di luar PKB tapi bermain di basis NU terutama di Jatim dan Jateng. Padahal dua propinsi ini tercatat sebagai penyumbang terbesar suara PKB pada pemilu 2004 lalu. Secara statistik sudah bisa ditebak perpecahan suara dukungan PKB akan terpecah menjadi dua dengan porsi yang tidak seimbang.

Meskipun Alwi-Saiful tidak lagi memegang posisi penting dalam kepengurusan PKB hasil muktamar Surabaya, tapi peran keduanya tidak berkurang sedikit pun. Apalagi kalau Alwi-Saiful tetap bertahan di kursi kabinet SBY-Kalla sampai tahun 2009, tentu power mereka dipastikan terus bertambah seiring dengan kepentingan politik kekuasaan. Bagaimana pun harus diakui bahwa figur Saiful sangat mampu untuk mewarnai wacana baru bagi kalangan muda NU.

Kepiawaian ketua umum GP Ansor ini dalam merangkul kekuatan para kiai sepuh, akan makin mempercepat proses perubahan kultural di kalangan NU. Dia sudah membuktikan telah mampu bergerak bebas lepas dari bayang-bayang kharisma Gus Dur. Sehingga, pecahnya hubungan politik antara Saiful dan Gus Dur, sebenarnya sangat merugikan akses NU dan PKB ke depan. Maka harus diupayakan agar pintu islah tidak tertutup karena alasan apa pun.

                    

Konflik PKB Pasca Putusan PN Jakarta Selatan Agustus 25, 2005

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Anggapan banyak orang tentang bakal berakhirnya konflik PKB setelah ada putusan hukum di pengadilan ternyata meleset. Pasca putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (10/8) lalu, tidak ada tanda-tanda bakal terjadinya islah (rujuk) antara kubu Gus Dur-Muhaimin Iskandar dan kubu Alwi Shihab-Saifullah Yusuf. Padahal beberapa waktu sebelumnya, sudah ada isyarat untuk menjadikan putusan PN sebagai pintu islah.

Kini, muncul argumentasi baru yang dikemukakan kubu Alwi-Saiful, bahwa putusan PN Jakarta Selatan belum menjadi keputusan hukum yang bersifat tetap, masih ada proses kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA). Nampaknya kubu ini punya keyakinan kuat bahwa pihaknya bakal menang di tingkat kasasi. Dan program-program  politik yang dikembangkan dijalankan, termasuk mempersiapkan muktamar PKB, sebagai pengganti muktamar Semarang yang dianggapnya cacat hukum.

Sebaliknya, kubu Gus Dur-Muhaimin makin gencar melakukan penataan politik di internal partainya. Agaknya, putusan PN Jakarta Selatan yang memenangkan pihaknya itu menjadi amunisi baru untuk melemahkan perlawanan kubu Alwi-Saiful di daerah-daerah, khususnya di Jatim, Jateng dan DIY. Dalam manuvernya ini Muhaimin mengemukakan penggolongan kubu Alwi-Saiful menjadi dua. Golongan kiai yang bakal didekati dan dimaafkan untuk diajak bergabung kembali di PKB. Sedangkan golongan yang bukan kiai sengaja dibiarkan untuk tidak diajak bergabung, bahkan ada nada ancaman untuk dipecat dari keanggotaan di PKB. Dan secara implisit  Muhaimin menyebut Alwi Shihab adalah termasuk golongan yang bukan kiai yang bakal digusurnya.

Dibalik pernyataannya itu, tentunya Muhaimin sudah punya target siapa saja yang berada dalam satu golongan dengan Alwi Shihab. Sehingga, publik pun mencoba menebak sederet tokoh yang bukan kiai di kubunya Alwi Shihab. Mereka itu diantaranya adalah mungkin AS Hikam, Chotibul Umam Wiranu, Khofifah Indar Parawangsa, Choirul Anam. Persoalannya, mungkinkan para kiai dan politisi di kubunya Alwi Shihab tersebut bisa dipecah-pecah dalam dua golongan yang berbeda semacam itu. Hal ini mengingat konsolidasi yang dilakukan kubu Alwi Shihab selalu dilakukan bersama para kiai khos di daerah-daerah basis PKB.

Melihat perkembangan masing-masing kubu yang cenderung tidak mencerminkan sikap islah itu, publik pun semakin maklum bila keputusan kasasi di tingkat MA nanti bakal menjadi alasan utama untuk pecah bagi kubu yang kalah secara hukum. Logika politiknya, pihak yang kalah di kasasi ini nanti merasa memiliki kekuatan penyeimbang untuk keluar dari PKB. Andaikata keluarnya dari PKB ini kemudian menempati diri sebagai non partisan, maka pengaruhnya terhadap konstituen PKB di tingkat bawah masih bisa dieleminir. Tapi, jika mereka memutuskan untuk mendirikan partai baru, maka pengaruhnya terhadap PKB sangat signifikan.

Bagaimana pun perpecahan PKB hingga menjadi dua partai pasti akan merugikan kalangan nahdliyyin dalam percaturan politik di tingkat nasional. Dukungan suara dari konstituen NU yang pada dua kali pemilu (1999 dan 2004) akan terbelah dalam pemilu 2009. Pecahnya dukungan konstituen NU ini pasti tidak menguntungkan bagi PKB maupun partai baru sempalannya. Sebab, tidak mustahil mantan konstituen PKB yang mayoritas dari kalangan nahdliyyin itu memilih bersikap netral terhadap PKB dan partai baru sempalannya.

Mereka yang memilih bersikap netral ini berpotensi untuk mengalihkan pilihannya kepada partai lain yang dianggapnya cocok dengan aspirasi politiknya. Bahkan, tidak mustahil mereka juga bakal berubah menjadi golput (tidak memilih) pada pemilu 2009 nanti. Memang tidak semua parpol diluar PKB memiliki kemampuan dan pengalaman dalam menggarap konstituen yang eksodus ini. Tapi, paling tidak ada dua parpol lama yang memiliki pengalaman untuk menggarap konstituen PKB yang eksodus. Dua parpol yang dimaksud adalah Partai Golkar dan PPP.

Banyak alasan mengapa dua parpol itu punya peluang dan kemampuan dalam merebut massa nadliyyin yang eksodus tersebut. PPP misalnya, yang sejak sebelum fusi 1973 sudah memiliki basis mayoritas dari kalangan mantan Partai NU pada pemilu 1971. Dalam perkembangannya selama masa orde baru, PPP juga mampu bertahan memelihara basis massa dari kalangan nahdliyyin. Hingga kini pun, dalam era multi partai, PPP masih mampu memelihara komunikasi politiknya dengan kalangan nahdliyyin meskipun harus berebut dengan PKB selama dua kali pemilu terakhir.

Sedangkan Partai Golkar tidak perlu diragukan lagi tentang pengalaman politiknya dalam menggarap konstituen yang eksodus dari partai lain. Kiprahnya selama orde baru, khususnya dalam melakukan penggembosan suara terhadap PPP, sudah menjadi bukti dalam sejarah perpolitikan di tanah air. Penggembosan terhadap PPP itu sangat sukses ketika pemilu 1987 dan kuncinya juga memanfaatkan kekecewaan tokoh-tokoh dan konstituen NU terhadap PPP.

Demikian juga pengalaman Partai Golkar dalam merebut kembali simpati rakyat pada pemilu 2004 yang akhirnya tampil sebagai pemenang pada pemilu legislatif. Bedanya kali ini yang digarap adalah kelompok rakyat kecil yang menjadi tulang punggung kemenangan PDIP pada pemilu 1999. Untuk proyeksi pada pemilu 2009 nanti, Partai Golkar punya peluang dan kemampuan untuk menggarap konstituen dari kalangan nahdliyyin bila PKB benar-benar pecah menjadi dua parpol akibat konflik kubunya Alwi dan kubunya Muhaimin.             

Solusi Konflik PKB Setelah Putusan Pengadilan Juni 16, 2005

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Dua kubu PKB (Alwi Shihab dan Muhaimin) makin agresif melakukan manuver politik untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Kondisi ini makin membuat bingung konstituen PKB yang mayoritas warga NU di tingkat bawah. Kebingungan warga NU itu juga sangat merisaukan PBNU. Hal itu diakui ketua umum PBNU KH Hasyim Muzadi. Tak henti-hentinya dia menghimbau agar pengurus NU tetap netral dalam menyikapi konflik internal PKB tersebut.

Hasyim juga mengakui, meskipun Muktamar NU ke 31 di Boyolali sudah meneguhkan bahwa NU menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol, tapi mungkin karena punya kedekatan historis, sehingga banyak pihak masih berharap NU proaktif turun tangan menyelesaikan konflik internal PKB. Bahkan, banyak pihak juga yakin bahwa kalau PBNU mau “intervensi” maka ketegangan di PKB bisa segera diatasi. Karena mayoritas pimpinan, kiai dan jamaah PKB itu warga nahdliyyin.

Nampaknya, upaya apapun yang menjurus kepada islah (rujuk) sudah sulit dilakukan pada saat ini. Salah satu jalan adalah menunggu keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tentang gugatan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf. Proses hukum ini sudah memasuki sidang pertama, masih ada upaya mediasi 30 hari. Diperkirakan tanggal 13 Juni 2005 ini akan gugatan perkara akan dibacakan. Artinya, hari itu menjadi awal dari proses hukum.

Sesuai UU, PN Jakarta Selatan punya waktu 60 hari untuk memutuskan perkara gugatan tersebut. Selanjutnya ada proses 30 hari di Mahkamah Agung (MA). Paling lambat PN Jakarta Selatan 13 Agustus 2005 sudah ada keputusan dan 13 September 2005 sudah ada keputusan tetap dari MA. Proses hukum ini menjadi dasar keabsahan DPP PKB yang mendapatkan pengakuan resmi dari negara. Maka proses rujuk politik pun baru bisa dijalankan sesuai dengan mekanisme organisasi di PKB.

Selama menunggu proses hukum tersebut, sebaiknya masing-masing kubu dapat menahan diri untuk tidak melakukan manuver politik yang makin meruncingkan konflik di PKB. Justru kedua kubu diharapkan dapat menurunkan suhu politik di internal PKB agar perpecahan di tingkat bawah dapat dihindarkan. Kekompakan PKB di tingkat bawah ini perlu dipelihara karena mereka sedang menghadapi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Disamping itu, kader-kader PKB di DPR dan DPRD juga butuh ketenangan untuk melakukan tugas-tugas rutin lembaga legislatif.

Kedua kubu perlu menyiapkan mental para pendukungnya untuk legowo menerima hasil putusan hukum yang akan dikeluarkan PN Jakarta Selatan dan tahap akhir di MA nanti. Bentuk riil dari sikap legowo tersebut harus diarahkan untuk membangun kembali keutuhan PKB di kemudian hari. Pertama, pihak pemenang supaya tidak sewenang-wenang melakukan tindakan pemecatan kepada para tokoh dan pendukungnya yang dinyatakan kalah dalam proses hukum.

Bagaimana pun tindakan pemecatan baik dari kepengurusan, keanggotaan di parpol maupun recalling keanggotaannya di lembaga legislatif, pasti menimbulkan dendam politik. Dari pengalaman selama ini, biasanya dendam itu melahirkan sikap yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi politik. Padahal pimpinan parpol selalu dituntut untuk lebih memperbesar dukungan lewat partisipasi politik. Kegagalan membangun partisipasi politik akan berakibat berkurangnya jumlah dukungan, bahkan rawan terjadi penggembosan parpol saat pemilu.

Pihak yang menang, sebenarnya mempunyai kewajiban untuk merangkul kawan-kawan politiknya yang selama konflik sempat menjadi lawan-lawan politiknya. Diperlukan kearifan tersendiri untuk membangun sikap penghormatan terhadap mereka yang pernah punya jasa-jasa politik dalam ikut berjuang di PKB sejak berdirinya hingga menjadi parpol besar seperti sekarang ini.

Kedua, pihak yang kalah secara hukum, diharapkan bersikap secara realistis. Meskipun kecewa, tapi tetap menunjukkan jiwa besar untuk mengakui keberadaan PKB yang sudah memiliki keabsahan berdasarkan kekuatan hukum tetap. Komitmen untuk tetap mendukung PKB sangat diperlukan meskipun secara struktural tidak lagi memiliki jabatan kepengurusan. Pengabdian kepada parpol bisa diwujudkan dalam bentuk apapun sesuai dengan platform PKB yang selama ini telah dibela mati-matian.

Dengan mengembangkan dua wacana seperti ini, maka PKB pasca keputusan hukum dapat solid kembali seperti sediakala. Bangsa ini perlu mendapat contoh etika berpolitik yang bagus. Konflik politik selalu diterima dengan penuh kesadaran setelah ada proses hukum tetap. Kekecewaan politik tidak harus selalu diakhiri dengan membentuk partai baru untuk menandingi parpol lama.

Sebab, dari pengalaman politik selama pemilu 1999 dan 2004 dapat diambil sebagai pelajaran. Parpol pecahan selalu tidak mampu memenangkan persaingan dalam perolehan suara dengan parpol induknya pada pelaksanaan pemilu. Hal itu terjadi karena basis konstituennya relatif sama dengan parpol induknya. Rakyat tidak mudah diajak pindah dukungan parpol gara-gara mengikuti tokoh-tokohnya yang hengkang dari parpol induk karena persoalan konflik politik di tingkat elit.

Bagaimana pun rakyat makin cerdas dalam membaca konflik politik dan cara-cara penyelesaiannya. Karena perkembangan arus informasi dan makin terdidiknya rakyat, telah merubah pola pikir mereka sehingga menjadi pemilih yang rasional dalam pemilu. Parpol yang bebas konflik atau minimal dapat menyelesaikan konfliknya dengan baik, pasti mendapat simpatik rakyat. Bagi mereka, parpol yang berkonflik pasti energi politiknya banyak terkuras untuk menyelesaikan pekerjaan internalnya. Otomatis parpol semacam ini tidak bisa diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi rakyat sepenuhnya.