jump to navigation

Amuk Massa dan Sengketa Hukum Pilkada Tuban Juni 1, 2006

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , ,
trackback

Oleh Slamet Hariyanto

Pilkada Kabupaten Tuban Jawa Timur sudah diumumkan hasilnya oleh KPUD setempat 3 Mei 2006. Perhitungan suara menunjukkan hasil kemenangan pasangan Haeny Relawati Rini Widyastuti-Lilik Soehardjono (HeLi) dapat dukungan 327.805 suara (51,75 persen). Hasil ini sudah dinyatakan sah oleh Chusnul Mariyah dari KPU Pusat yang ikut hadir dalam rapat KPUD Tuban. Sementara pasangan NonsTop dapat dukungan 305.560 suara (48,25 persen). Kemenangan Haeny (ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Tuban) menambah deretan jumlah keberhasilan incumbent meraih kedudukan pada periode kedua (2006-2011) yang kali ini dipilih langsung oleh rakyat. Pasangan HeLi unggul 22.245 suara, sementara itu terdapat 21.960 suara tidak sah dari jumlah total pemilih 845.514 orang.

Kini, pilkada Tuban yang digelar 27 April 2006 itu tinggal meneruskan tahapan berikutnya sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Yakni KPUD melaporkan hasil pilkada kepada DPRD Tuban, selanjutnya DPRD menyelenggarakan rapat paripurna untuk menetapkan dan mengusulkan pengesahan dan pelantikan HeLi kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jatim.

Pilkada Tuban menyisakan persoalan yang masih harus diselesaikan oleh Panwas Pilkada. Sebab, baik tim sukses HeLi maupun tim sukses NonsTop sama-sama memiliki data tentang pelanggaran yang dilakukan pihak lawannya. Apalagi pasca Pilkada juga terjadi amuk massa 29 April 2006 yang merusak bangunan dan perangkat kantor Pemda, pendopo kabupaten, kantor KPUD, rumah dinas bupati dan aset pribadi (rumah, hotel, bangunan kantor CV, SPBU, mobil, dll) milik keluarga Bupati Haeny Relawati. Pihak kepolisian sudah menetapkan 114 tersangka (termasuk 3 anggota DPRD Tuban) dalam tindak anarkhis ini. Sehingga, pilkada Tuban tidak hanya sekedar membutuhkan penyelesaian politis, tapi juga perlu dituntaskan secara hukum.

Pertama, tugas Panwas pilkada untuk memproses dan menindaklanjuti segala bentuk pelanggaran yang dilaporkan oleh tim sukses HeLi dan NonsTop maupun parpol yang mengusung dan mendukung pencalonan mereka. Meskipun tim advokasi Partai Golkar Jatim meyakini bahwa pilkada Tuban sudah final dan sesuai aturan, namun tim advokasi DPP PKB pimpinan Muhaimin (parpol pengusung pasangan NonsTop) telah mengumumkan 12 temuan pelanggaran berdasarkan investigasi di lapangan. PKB dalam pembelaannya terhadap pasangan NonsTop nanti pasti akan ditunjang PDIP karena kedua parpol itu yang mencalonkan mereka. Publik menunggu hasil kerja Panwas dalam menyikapi seluruh laporan pelanggaran ini. Terutama apakah hasil penanganan Panwas nanti cukup signifikan untuk membatalkan kemenangan HeLi.

Kedua, khusus untuk tindak pidana dalam kaitan pilkada ini, telah tersedia ketentuan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 115-119 UU Nomor 32 Tahun 2004. Para pihak yang tidak puas dengan hasil pilkada Tuban, tinggal memilih pasal dan ayat yang sesuai dengan materi gugatannya. Dalam konteks ini publik juga menunggu apakah putusan pengadilan nanti ada yang signifikan untuk membatalkan kemenangan pasangan HeLi.

Ketiga, diluar sengketa pilkada masih ada sikap politik DPP PKB seperti disampaikan tim advokasinya yang menyebut 20 daftar dosa Haeny sebagai bupati selama lima tahun terakhir. Tim advokasi ini menyebut beberapa contoh antara lain pembangunan Masjid Agung Sunan Bonang, terminal wisata yang pelaksanaannya tanpa tender. Terhadap seluruh temuan tentang dosa Haeny ini Gus Dur menegaskan pihaknya akan terus berjuang demi kepentingan masyarakat Tuban. Bahkan Gus Dur beralasan bahwa perjuangannya itu bukan sekedar masalah Bupati Haeny atau KPUD saja, tetapi sudah menyangkut martabat bangsa.

Menyimak tekad PKB ini, maka proses perjuangannya bukan lagi jangka pendek pasca pilkada. Andaikata Haeny sudah lolos melalui seluruh tahapan pilkada dan sudah dilantik menjadi bupati pun, dia akan terus dikejar oleh PKB. Karena daftar dosa Haeny versi PKB itu termasuk dalam kategori korupsi yang berlangsung selama periode kepala daerah lima tahun terakhir. Substansi gugatan PKB ini menjadi wilayah penegak hukum untuk membuktikan dalam proses peradilan yang jujur. Publik tinggal menunggu apakah PKB punya keseriusan dalam menindaklanjuti sikap politiknya tersebut. Jika ternyata PKB tidak meneruskan proses hukum seperti yang sudah diumumkan itu, maka pengungkapan 20 dosa Haeny hanyalah manuver untuk memprotes kekalahan NonsTop belaka.

Keempat, pasca amuk massa di Tuban, pihak Komnas HAM sudah turun ke lapangan untuk melakukan investigasi. Di lapangan tentu Komnas HAM akan mendapati dua hal penting yang berkaitan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Pihak tim sukses HeLi pasti akan melaporkan pihak pelaku amuk massa sebagai pelanggaran HAM karena mereka telah memasuki dan merusak rumah pribadi keluarga Haeny. Sedangkan di sisi yang lain pihak tim sukses NonsTop pasti melaporkan temuannya bahwa para tersangka amuk massa mendapat siksaan di tahanan kepolisian. Jika Komnas HAM mendapatkan fakta-fakta tersebut, maka akan tercatat bahwa pihak pendukung HeLi maupun NonsTop sama-sama jadi korban pelanggaran HAM. Dan pelaku pelanggaran HAM harus diproses secara hukum.