jump to navigation

Mengkritisi Raperda Kawasan Tanpa Rokok November 15, 2007

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Peraturan daerah (perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah. Rumusan itu diatur dalam pasal 1 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Disimak dari segi muatan materi dalam perda, bisa dibedakan dalam dua jenis yakni perda baru, dan perda revisi. Dalam praktek pembentukannya, kedua perda tersebut memiliki latar belakang yang berbeda.

Perda baru, diciptakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pemda dalam mengembang fungsi pelayanan kepada masyarakat. Perda revisi, diciptakan karena menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terbaru, dan substansi Perda lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Langkah ini sekaligus untuk memberi payung hukum terhadap kebijakan Pemda yang harus sinkron dengan perkembangan masyarakat.

Tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota adalah membentuk perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Disamping itu juga dilaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 78 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (pemda). Untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, DPRD memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

Saat ini DPRD Surabaya sedang menggodok perda baru tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dalam proses pembahasan di tingkat panitia khusus (pansus), Rancangan perda ini perlu mendapat masukan dari masyarakat untuk ikut memberikan sumbangan pemikiran. Tujuannya agar penggodokan Raperda KTR dapat lebih sempurna.

Menyimak draf Raperda KTR yang disampaikan walikota kepada DPRD Surabaya terdiri atas 13 pasal yang dibagi dalam 12 bab, memang perlu dikritisi warga masyarakat. Dalam klausul menimbang huruf (b) disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 25 PP Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, maka pemda wajib mewujudkan KTR.

Menurut saya, Raperda KTR isinya melarang setiap orang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan rokok di kawasan tanpa rokok. Larangan itu meliputi kegiatan memproduksi atau membuat rokok, menjual rokok, menyelenggarakan iklan rokok, mempromosikan rokok, dan/atau menggunakan rokok.

Dalam draf raperda ini juga memuat pasal-pasal yang memberi “cek kosong” kepada walikota untuk menetapkan peraturan kepala daerah. Artinya walikota semacam diberi kebebasan untuk menentukan ketetapan tentang tempat-tempat tertentu sebagai kawasan tanpa rokok. Dan walikota juga diberi kebebasan untuk menentukan ketetapan kawasan terbatas merokok.

Saya khawatir bakal terjadi tarik ulur antara kepentingan pemkot dengan kalangan masyarakat rokok, terutama kalangan pengusaha rokok dan pengusaha iklan rokok. Mereka tidak akan tinggal diam bila di wilayah yang selama ini dijadikan basis industri rokok ternyata terancam ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok. Apalagi menjamurnya iklan rokok yang hampir memenui setiap jalan-jalan startegis pasti terkena dampak dari Perda KTR ini.

Sudah jamak diketahui warga kota bahwa penataan reklame sangat semrawut dan banyak dikritik anggota DPRD Surabaya. Hal itu disebabkan lemahnya aparat pemkot dalam melakukan penertiban pemasangan reklame. Salah satu sumber keruwetan pelaksanaan reklame itu karena kelemahan Perda Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penyelenggaran Reklame dan Pajak Reklame. Bahkan Perda Nomor 8 Tahun 2006 meskipun baru berumur setahun, terancam digugat oleh DPRD Surabaya untuk dibatalkan.

Maka pasal-pasal “cek kosong” dalam Raperda KTR sangat rawan terjadi tindak penyelewengan aparat pemkot dalam menetapkan peraturan walikota sebagai pelaksanaan Perda KTR. Bisa terjadi “main mata” antara pengusaha rokok dan pengusaha iklan rokok dengan pejabat pemkot agar peraturan walikota tersebut tidak merugikan pihak mereka.

Perlu dipertimbangkan agar Raperda KTR tidak diteruskan pembahasannya di DPRD Surabaya. Sebab, bila dipaksakan akan berakibat Perda KTR bakal menjadi monumen masuknya kongkalikong antara pejabat pemkot dan para pengusahaan rokok dan pengusaha iklan rokok. Jika sudah seperti itu, maka membatalkan Perda yang sudah disahkan bukan pekerjaan yang mudah. Memerlukan ongkos sosial, politik dan pemborosan anggaran APBD. Lebih mudah melakukan revisi bahkan mencabut kembali peraturan soal rokok bila dituangkan lewat peraturan kepala daerah.

Sebagai bentuk kepatuhan Pemkot Surabaya terhadap PP Nomor 19 Tahun 2003 tidak harus diwujudkan dalam bentuk Perda. Apalagi pasal 25 PP ini hanya mewajibkan pemda untuk mewujudkan kawasan tanpa rokok, tidak ditegskan bentuknya harus melalui perda atau cukup dengan peraturan kepala daerah saja.

Saya lebih setuju bila Pemkot Surabaya meniru Pemda DKI Jakarta dalam mewujudkan kawasan tanpa rokok. Pemda DKI Jakarta tidak pernah punya Perda KTR. Dukungan Pemda DKI Jakarta terhadap pasal 25  PP Nomor 19 Tahun 2003 justru diwujudkan dalam bentuk peraturan gubernur.

DKI Jakarta punya Keputusan Gubernur Nomor 11 Tahun 2004 tentang Pengendalian Merokok di Tempat kerja di Lingkungan Propinsi DKI Jakarta. Tahun 2005 menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Kemudian diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 59 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Pengendalian Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR). Dan di tahun yang sama diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Kawasan Dilarang Merokok.

Saya yakin anggota Pansus Raperda KTR sudah memperoleh bahan hukum dari DKI Jakarta tersebut. Sebab akhir bulan Agustus 2007 yang lalu mereka mengadakan studi banding ke Jakarta. Sungguh ironis kalau mereka tidak tahu soal itu.         

Merosotnya Wibawa Perda Kepariwisataan November 1, 2007

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Efektifitas fungsi pengawasan DPRD Surabaya terhadap pelaksanaan peraturan daerah (perda) selama Ramadhan 1428 H yang lalu benar-benar diuji. Pasalnya, ada 11 rumah biliar tetap buka dan melakukan kegiatan operasional selama Ramadhan. Rumah biliar tersebut berani buka karena dapat izin dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkot Surabaya. Peristiwa ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang Kepariwisataan.

Salah satu maksud dan tujuannya dibuat Perda Nomor 6 Tahun 2003 adalah penyelenggaraan kepariwisataan di Surabaya dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Warga kota memberi julukan Perda ini sebagai Perda Anti Maksiat (PAM), karena salah satu pasalnya mengamanatkan selama Ramadhan semua kegiatan hiburan umum yang berpotensi menjadi ajang maksiat harus tutup total.

Ketentuan itu tercantum dalam pasal 60 yang terdiri atas 3 ayat penting. Pertama, dalam pelaksanaan kegiatan usaha obyek daya tarik wisata rekreasi dan hiburan umum, penyelenggara usaha harus mengikuti ketentuan waktu/jam operasional sesuai dengan jenis usahanya.

Kedua, selama bulan Ramadhan dan malam Hari Raya Idul Fitri untuk kegiatan usaha diskotik, panti pijat, bola sodok (biliar), gelanggang permainan dan ketangkasan dewasa, kelab malam, karaoke dan rumah musik diwajibkan menutup/menghentikan kegiatan. Dan untuk pertunjukan bioskop dilarang memutar film mulai pukul 17.30 WIB (waktu shalat maghrib/berbuka puasa) sampai dengan pukul 20.00 WIB (waktu shalat isya’/tarawih).

Ketiga, hal-hal yang mengatur tentang ketentuan waktu/jam operasional penyelenggaraan usaha sebagaimana poin pertama tersebut diatur lebih lanjut oleh kepala daerah.

Pasal 60 Perda Kepariwisataan itu yang dijadikan acuan terbitnya peraturan walikota Surabaya untuk menutup total kegiatan hiburan selama bulan Ramadhan. Dan selama dua tahun terakhir peraturan walikota itu ditentang oleh kalangan pengusaha hiburan dan jajarannya.

Memang, Pemkot Surabaya sudah mengajukan usulan revisi Perda Nomor 6 Tahun 2003. Salah satu pertimbangan usulan revisi adalah UU Pemerintahan Daerah telah mengalami perubahan dari UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Pihak DPRD Surabaya merespon dengan membentuk panitia khusus (Pansus) revisi Perda Kepariwisataan. Hampir setahun ini Pansus belum mampu menyelesaikan tugasnya. Terjadi pembahasan alot karena berbagai pihak ikut bermain untuk menggolkan kepentingan kelompoknya.

Secara hukum, Perda Nomor 6 Tahun 2003 tetap berlaku sebelum terbitnya Perda baru yang merupakan hasil revisi. Artinya, 11 rumah biliar yang buka di bulan Ramadhan itu termasuk jenis pelanggaran menurut ketentuan pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003.

Kasus ini dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 120 ayat (1) yang bunyinya “pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perda ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5 juta”. Selanjutnya pasal 120 ayat (4) menyebutkan bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi ancaman pidana yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup, benda cagar budaya, dan Undang-undang lainnya.

Bentuk sanksi lainnya adalah sanksi administrasi menurut ketentuan pasal 121 ayat (1) yang bunyinya “pelanggaran terhadap perizinan serta larangan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam perda ini, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa peringatan lisan, peringatan tertulis, dan pencabutan izin usaha”.

Uniknya, 11 rumah biliar yang buka di bulan Ramadhan ini telah mendapat izin dari Disbudpar Pemkot Surabaya. Keluarnya izin tersebut atas permintaan Persatuan Olahraga Biliar Seluruh Indonesia (POBSI) Surabaya untuk ajang latihan atlet biliar. Tentunya, permintaan POBSI tersebut sudah dikoordinasikan dengan KONI Surabaya.

Dalam suratnya POBSI Surabaya bernomor 99/PC-POBSI/SBYA/IX/2007 telah mengajukan permintaan kepada Disbudpar agar mengizinkan 23 rumah biliar tetap buka selama bulan Ramadhan. Alasannya tempat tersebut dipakai sebagai ajang latihan atlet biliar. Namun, Disbudpar hanya mengizinkan hanya 11 rumah biliar yang boleh buka.

Kabarnya pihak POBSI masih berjuang supaya Disbudpar mengizinkan 23 rumah biliar untuk tetap buka selama bulan Ramadhan. Sedangkan anggota Komisi D (kesra) DPRD Surabaya M. Alyas dari Partai Golkar protes karena ditemukan ada lebih dari 11 rumah biliar tetap buka. Alyas mengaku mendapat laporan dari masyarakat tentang adanya rumah biliar “mokong” tersebut.

Sudah menjadi gejala umum di masyarakat, bila ada salah satu pihak melakukan pelanggaran dan tidak ditindak, maka pihak lainnya cenderung meniru berbuat pelanggaran. Alasan klasik yang dipakai, biasanya dengan menyebut demi rasa keadilan. Di mata publik,  Perda Kepiwisataan terbukti wibawanya merosot.

Dalam konteks ini DPRD Surabaya perlu bersikap secara kelembagaan, tidak cukup hanya komentar perorangan anggotanya. Sikap secara kelembagaan itu sesuai dengan amanat fungsi pengawasan dewan sebagaimana dituangkan dalam pasal 19 ayat (4) Peraturan Tata Tertib DPRD Surabaya.

Apalagi dalam pasal 20 ayat (1) huruf (c) telah diatur mengenai tugas dan wewenang DPRD yang berbunyi “melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah”. Kini, warga kota menunggu sikap cerdas anggota dewan.

Perda Perlindungan Lansia April 13, 2007

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Komisi E (kesra) DPRD Jatim sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Lansia. Masyarakat perlu memberi apresiasi terhadap rencana perlindungan terhadap anggota masyarakat yang berusia 60 tahun keatas tersebut. Karena tanggung jawab terhadap lansia merupakan kewajiban bagi pemerintah, masyarakat dan keluarga. Lansia juga punya hak sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perspektif itu tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Menurut data terakhir di Jatim, jumlah lansia mencapai 5.490.370 orang. Dari jumlah itu terdapat 2.712.976 orang (49,41 persen) dalam kondisi terurus. Sisanya, lebih dari separuh, yakni 50,01 persen termasuk dalam kondisi lansia terlantar. Potensi lansia terlantar ini bisa bertambah lagi, sebab saat ini terdapat 31.704 (0,58 persen) yang masuk kategori rawan terlantar.Kondisi tersebut menjadi alasan strategis untuk melindungi lansia dalam payung hukum berupa Perda. Meskipun secara nasional sudah terdapat beberapa landasan konstitusi yang memihak kepada nasib lansia. Antara lain UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, PP Nomor 43 Tahun 2004 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 1998, PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pembinaan Karang Werda, Keppres Nomor 52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lansia.

Bahkan, substansi dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga mengatur tanggung jawab pemda propinsi, kabupaten/kota terhadap lansia. Sehingga, perlindungan terhadap lansia di Jatim yang diwujudkan dalam sebuah Perda merupakan kebutuhan riil sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan diatasnya. Langkah itu merupakan peningkatan kualitas secara yuridis dari beberapa kebijakan Pemda Jatim yang mengatur perlakuan terhadap lansia.

Jauh sebelum UU Nomor 13 Tahun 1998 diterbitkan, sebenarnya sudah ada kebijakan Pemda Jatim yang memihak kepada lansia. Hal itu dapat dilihat dari terbitnya Instruksi Gubernur Nomor 14 Tahun 1991 yang mengatur pemberian KTP seumur hidup bagi lansia. Tiga tahun berikutnya juga terbit Instruksi Gubernur Nomor 28 Tahun 1994 tentang Pembinaan Lansia.

Selama tahun 1996 juga disusuli terbitnya kebijakan berikutnya berupa keputusan gubernur. Antara lain Kepgub Nomor 65 Tahun 1996 tentang Pembentukan Karang Werda, dan Kepgub Nomor 120 Tahun 1996 tentang Penerbitan Majalah Lansia.

Menurut saya, substansi dari instruksi dan keputusan gubernur tersebut harus diadopsi dalam Perda Perlindungan Lansia. Adopsi ketentuan tersebut tentunya harus lebih disempurnakan sehingga isinya lebih tajam dan signifikan senafas dengan tujuan dikeluarkan Perda.

Yang patut didukung adalah dalam draf Raperda sudah tercantum ancaman sanksi bagi pejabat pelayanan publik, pengusaha jasa transportasi, dan tempat wisata apabila mengabaikan hak-hak lansia. Jika terbukti mereka melakukan pelanggaran Perda Perlindungan Lansia, bisa dikenakan sanksi denda Rp 50 juta atau kurungan enam bulan.

Pelanggaran itu bisa berupa tidak dipenuhinya potongan harga tiket kendaraan umum maupun tempat wisata bagi lansia. Disamping itu juga diatur mengenai para penyelenggara pelayanan publik diharuskan memberikan kemudahan kepada lansia. Sanksinya berupa sanksi administratif dan pidana. Sanksi adminsitratif bisa berupa teguran lisan, tertulis, dan yang terparah adalah pencabutan ijin pelayanan.

Sanksi pidana diberikan bila pelanggaran yang dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana. Ada pula ketentuan sanksi pidana bagi pihak-pihak yang sengaja melakukan ekploitasi, tindak kekerasan, penelantaran, penyimpangan seksual, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan penderitaan lansia.

Jika Perda ini ingin benar-benar signifikan dalam memberikan perlindungan kepada lansia, maka perlu dimasukkan beberapa unsur penting. Pertama, kewajiban lansia terhadap generasi muda. Sesuai dengan budaya masyarakat yang sudah turun menurun, orang tua (termasuk lansia) memiliki kewajiban membimbing, menasehati, mengamalkan ilmu pengetahuan, memberi teladan yang baik.

Perlunya mencantumkan kewajiban lansia dalam Perda tersebut tanpa mengurangi hak mereka untuk mendapat pelayanan kesejahteraan sebagai lansia. Pelayanan kesejahteraan itu meliputi bidang keagamaan, kesehatan, kesempatan kerja, pendidikan dan pelatihan, perlindungan sosial, dan batuan sosial.

Di perguruan tinggi sudah diterapkan bagaimana lansia mendapatkan peran secara proporsional. Keberadaan guru besar emeritus menjadi bukti nyata tentang kewajiban lansia dalam mengamalkan ilmu pengetahuan. Hal itu juga termasuk memenuhi unsur terbukanya kesempatan kerja bagi lansia yang sudah pensiun dari statusnya sebagai guru besar.

Tentang kewajiban lansia dalam memberi teladan yang baik kepada generasi muda, tentu ada kaitannya dengan perlakuan hukum yang sama terhadap semua orang, termasuk lansia. Sehingga generasi muda punya alasan moral dan yuridis untuk tidak meniru kelakukan lansia yang kebetulan menjadi pelaku tindak pidana korupsi, misalnya.

Perda juga memberikan ruang bagi media massa dan organisasi advokat untuk ikut berkiprah dalam memberikan pelayanan dan perlindungan bagi lansia. Misalnya, ada pasal yang mengatur himbauan (bila perlu diwajibkan) bagi media massa yang terbit di Jatim memberikan ruang/rubrik khusus lansia. Himbauan yang sama juga berlaku bagi organisasi advokat untuk mendirikan divisi khusus yang membela lansia. Yang dimaksud adalah lansia yang menjadi korban pihak lain sebagaimana diatur dalam Perda.

Perda Kota Rawan Gugatan Februari 20, 2007

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Kota Surabaya setiap tahun selalu memproduksi Peraturan Daerah (perda). Ada dua kategori perda yang diproduksi yakni perda baru, dan perda revisi. Apa pun kategorinya, produksi perda selalu memiliki latar belakang yang sama. Perda baru, diciptakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pemda dalam mengembang fungsi pelayanan kepada masyarakat. Langkah ini sekaligus untuk memberi payung hukum terhadap kebijakan pemda yang harus sinkron dengan perkembangan masyarakat.Perda revisi, diciptakan karena menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terbaru, dan substansi perda lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan perkembangan masyarakat selalu mengalami perubahan seiring dengan kemajuan teknologi.

Tugas dan wewenang DPRD adalah membentuk perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Disamping itu juga dilaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

Ketentuan tersebut tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, DPRD memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

September 2007 ini Komisi B (perekonomian dan keuangan) DPRD Surabaya menagih janji Pemkot soal penertiban papan reklame. Hal itu disampaikan Yulyani, anggota Komisi B dari PKS. Dia meragukan keseriusan Pemkot, karena di lapangan banyak pelanggaran yang sengaja dibiarkan tanpa ada tindakan penertiban.

Kritikan anggota Komisi B itu seperti gayung bersambut dengan rekan-rekannya di Komisi A (pemerintahan) DPRD Surabaya terhadap banyaknya pelanggaran reklame. Berdasarkan data Komisi A, hampir 90 persen reklame di kota ini melanggar Perda. Bentuk pelanggaran reklame bermacam-macam, misalnya manipulasi ukuran, jarak ntar papan, area penataan, reklame tanpa izin, tidak ada asuransi, tidak mencantumkan nama biro iklannya dan habis masa izinnya.

Penilaian Komisi A, kesemawrutan reklame itu sumbernya karena kelemahan aturan dalam Perda Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penyelenggaran Reklame dan Pajak Reklame. Bahkan beberapa anggota Komisi A mendesak supaya perda tersebut segera direvisi.

Lantangnya suara yang bernada gugatan dari unsur dewan ini terasa janggal bila dilihat dari kaca mata politik dan hukum. Sebab, Perda Nomor 8 Tahun 2006 digodok dan disahkan oleh DPRD Surabaya periode 2004-2009. Dan kini digugat oleh anggota dewan pada periode yang sama.

Sesuai dengan mekanisme pembahasan perda, pengesahannya melalui rapat paripurna dewan. Sebelum forum pengesahan itu, sejumlah tahapan harus dilalui untuk mengawal draf rancangan perda sampai menjadi perda. Mekanisme itu diatur dalam Tatib DPRD Surabaya.

Tim dewan yang ditugasi untuk membahas secara detil sebuah rancangan perda, diserahkan kepada salah satu alat kelengkapan DPRD. Nama tim tersebut adalah panitia khusus (pansus) yang keberadaan dan lingkup tugasnya diatur dalam pasal 68 ayat (1) hingga ayat (10) Tatib DPRD Surabaya.

Pansus dibentuk dengan keputusan DPRD atas usul dan pendapat anggota DPRD setelah mendengar pertimbangan panitia musyawarah (panmus) dengan persetujuan rapat paripurna. Anggota pansus terdiri atas anggota komisi terkait yang mewakili semua unsur fraksi. Hasil kerja pansus dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.

Maka, secara prosedur pengambilan keputusan, Perda Nomor 8 Tahun 2006 yang diproduksi DPRD Surabaya periode 2004-2009 menjadi sangat janggal apabila digugat oleh sekelompok anggota dewan yang tergabung dalam salah satu komisi tertentu. Padahal kelompok penggugat tersebut, lewat fraksinya masing-masing juga terlibat dalam persetujuan pengesahan perda ini.

Jika benar bahwa materi perda betul-betul dinilai tidak relevan dengan kebutuhan penertiban reklame, patut dipertanyakan kualitas kerja pansus Perda Nomor 8 Tahun 2006. Pada waktu rapat paripurna pengesahan perda tersebut, posisi para penggugat itu ada dimana?

Sepertinya mereka tidak mencermati materi rancangan perda yang sudah digodok pansus. Padahal pengesahan perda ini juga mendapat persetujuan dari masing-masing fraksi. Unsur dewan menggugat Perda Nomor 8 Tahun 2006 ini sama saja mereka menggugat dirinya sendiri.

Selain itu, ada juga perda lainnya yang digugat unsur dari luar dewan. Bahkan, kualitas gugatannya cukup serius. Yakni, gugatan LBH Surabaya terhadap Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Pengesahan Perda ini dilakukan dalam rapat paripurna DPRD Surabaya 10 Januari 2007.

LBH Surabaya sudah mendaftarkan uji materiil perda ini kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri Surabaya. Tuntutan LBH Surabaya cukup tegas yakni minta MA membatalkan Perda Nomor 2 Tahun 2007.

Mengapa? Karena minimal ada enam hal dalam Perda Nomor 2 Tahun 2007 yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Yakni, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penyelenggara Negara Bebas KKN, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Jika nantinya MA mengabulkan uji materiil ini, maka nama besar pemkot dan DPRD Surabaya benar-benar dipertaruhkan. Kesan publik pasti memberi stempel bahwa pemkot dan DPRD tidak paham peraturan perundang-undangan. Akibatnya perda yang dibuat menjadi rawan gugatan karena cacat hukum.

Ke depan, pemkot dan DPRD Surabaya dalam mempersiapkan rancangan perda harus tanggap terhadap aspirasi masyarakat. Hal itu perlu dilakukan supaya materi perda yang akan dibahas dan disahkan DPRD bersama kepala daerah, benar-benar dapat diberlakukan secara efektif dan tidak rawan gugatan.

Mempersoalkan Anggaran Berobat Anggota DPRD Jatim Januari 30, 2002

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , ,
comments closed

  

Oleh Slamet Hariyanto

DPRD Jatim gegeran lagi soal anggaran, bukan dengan pihak eksekutif, tapi dengan kalangan intern dewan sendiri. Kali ini yang dipersoalkan anggaran berobat anggota DPRD Jatim dan keluarganya. Untuk tahun anggaran 2001 dialokasikan sebesar Rp 400 juta. Namun, diakhir tahun anggaran 2001 ternyata membengkak jadi Rp 494.518.121. mengalami pembengkakan sebesar Rp 94,5 juta, padahal jumlah anggota dewan termasuk keluarganya yang pernah sakit dan mengambil beaya pengobatan lewat APBD sebanyak 87 orang.

Dari jumlah itu, tercatat ada 10 anggota dewan yang sering sakit dan menggunakan dana berobat dari DPRD melebihi batas Rp 4 juta. Mereka adalah Edi Budi Prabowo, Dimyati Romly, Cholili Mugi (Fraksi partai Golkar), Ghozy Siradj, Haruna Sumitra, Nurhaida Shomad (F Gabungan), Syaiful Islam, Iskandar (FPKB), Budi Sarjono, Mukmin Basuni (FTNI/Polri). Rangking tertinggi ada pada Edi Budi Prabowo sebesar Rp 24,843 juta dan terendah diserap untuk pengobatan Mukmin Basuni Rp 9,810 juta. Sedangkan 8 orang lainnya berkisar pada angka Rp 10 juta- Rp 18 juta.

Persoalan ini kemudian diprotes sesama anggota dewan dan rakyat semakin bercitra negatif terhadap DPRD Jatim. Apalagi sejak masa persidangan DPRD Jatim dalam membahas Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2001 lalu masih menyisakan persoalan yang membingungkan rakyat. Mekanisme PAK bagi Pemprop Jatim, dipakai sebagai sarana revisi APBD yang sudah ditetapkan baik menyangkut anggaran pendapatan maupun anggaran belanja. Perubahan itu dimungkinkan karena  target yang telah dipatok dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami perubahan akibat kenaikan potensi pendapatan maupun karena intensifikasi dan ekstensifikasi obyek pendapatan.  Anggaran belanja rutin dan pembangunan masing-masing dinas, biro dan lembaga eksekutif lainnya direvisi mengikuti pola perubahan pendapatan tersebut. Logikanya, sebagai dinas penghasil, bilamana pendapatan meningkat, maka belanja ikut meningkat pula.

Kecenderungan menaikkan anggaran belanja itu juga terjadi di DPRD Jatim, padahal sebagai lembaga legislatif, jelas tidak termasuk sebagai komponen penghasil PAD. Maka, ketika DPRD ikut-ikutan menaikkan pos anggaran belanjanya pada PAK, perlu di pertanyakan alasan obyektifnya. Mencermati latar belakangnya, dorongan itu berasal dari kalangan intern legislatif. Mereka mengganggap wajar karena eksekutif menaikkan anggarannya, maka legislatif ikut latah menaikkan anggaran.

Dorongan lainnya bersifat politis, kalangan eksekutif menggunakannya sebagai katup pengaman untuk lolosnya usulan kenaikan anggaran agar mulus dalam pembahasannya di DPRD.  Kalau mengikuti pola ini, jelas eksekutif lebih punya pengalaman dibanding rata-rata anggota dewan. Maka, upaya menaikkan anggaran belanja dewan dalam PAK sulit sekali dicari relevansinya dengan kepentingan rakyat secara langsung. Bertambahnya anggaran berarti meningkat pula kesejahteraan anggota dewan.

Persepsi rakyat masih belum berubah, hampir tiga  tahun kinerjanya belum menunjukkan prestasi yang signifikan. Selama kurun waktu itu, hanya satu Peraturan Daerah (Perda) yang dihasilkan sebagai usul hak inisiatif. Ironisnya, perda ini hanya menyangkut tentang jasa pungut, artinya hanya berkisar soal pendapatan anggota dewan yang dilegalkan lewat peraturan.

Pernah ada suara lantang dari dalam gedung dewan agar Pemprop secara terbuka mengumumkan program dan anggarannya secara terbuka. Alasannya agar rakyat mengetahui dan bisa mengontrol secara langsung pelaksanaan pembangunan. Walau pun sampai detik ini hal itu belum dilakukan, DPRD sendiri sudah tidak getol lagi menyuarakan transparansi proyek dan anggarannya. Lain kali kalau ada seruan serupa itu, pasti rakyat skeptis dalam menanggapinya.

Apakah DPRD benar-benar serius ingin mewujudkan  transparansi anggaran   yang tercantum dalam APDB ? Hanya satu hal yang bisa dijadikan tolok ukur sampai sejauh mana kalangan dewan punya political will. Lakukan keteladanan dengan contoh tindakan kongkret, dimulai dari diri sendiri. Anggaran belanja khusus DPRD yang kini termasuk swakelola itu mulailah dilakukan dengan transparansi kepada rakyat. Anggaran dewan lengkap dengan rencana penggunaannya perlu diumumkan secara terbuka kepada rakyat. Diiklankan dimedia massa sebanyak dua kali dalam satu tahun anggaran. Yakni ketika penetapan APBD dan saat terakhir perhitungan anggaran.

Biarlah rakyat secara langsung mengetahui penggunaan uang negara yang dihasilkan dari pajak rakyat itu oleh anggota dewan yang mewakilinya. Sehingga jika ada usulan perlunya kenaikan anggaran dewan dalam PAK, rakyat bisa mengetahui alasan obyektifnya. Sebab, ada satu mata anggaran dewan yang sulit dikontrol secara administratif. Namanya dana penyerapan aspirasi masyarakat, pos ini ada secara rutin dan bahkan muncul lagi ketika sedang dalam proses  pembahasan Rancangan Perda.