jump to navigation

Mengkritisi Raperda Kawasan Tanpa Rokok November 15, 2007

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , ,
comments closed

Oleh Slamet Hariyanto

Peraturan daerah (perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah. Rumusan itu diatur dalam pasal 1 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Disimak dari segi muatan materi dalam perda, bisa dibedakan dalam dua jenis yakni perda baru, dan perda revisi. Dalam praktek pembentukannya, kedua perda tersebut memiliki latar belakang yang berbeda.

Perda baru, diciptakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pemda dalam mengembang fungsi pelayanan kepada masyarakat. Perda revisi, diciptakan karena menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terbaru, dan substansi Perda lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Langkah ini sekaligus untuk memberi payung hukum terhadap kebijakan Pemda yang harus sinkron dengan perkembangan masyarakat.

Tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota adalah membentuk perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Disamping itu juga dilaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 78 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (pemda). Untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, DPRD memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

Saat ini DPRD Surabaya sedang menggodok perda baru tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dalam proses pembahasan di tingkat panitia khusus (pansus), Rancangan perda ini perlu mendapat masukan dari masyarakat untuk ikut memberikan sumbangan pemikiran. Tujuannya agar penggodokan Raperda KTR dapat lebih sempurna.

Menyimak draf Raperda KTR yang disampaikan walikota kepada DPRD Surabaya terdiri atas 13 pasal yang dibagi dalam 12 bab, memang perlu dikritisi warga masyarakat. Dalam klausul menimbang huruf (b) disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 25 PP Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, maka pemda wajib mewujudkan KTR.

Menurut saya, Raperda KTR isinya melarang setiap orang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan rokok di kawasan tanpa rokok. Larangan itu meliputi kegiatan memproduksi atau membuat rokok, menjual rokok, menyelenggarakan iklan rokok, mempromosikan rokok, dan/atau menggunakan rokok.

Dalam draf raperda ini juga memuat pasal-pasal yang memberi “cek kosong” kepada walikota untuk menetapkan peraturan kepala daerah. Artinya walikota semacam diberi kebebasan untuk menentukan ketetapan tentang tempat-tempat tertentu sebagai kawasan tanpa rokok. Dan walikota juga diberi kebebasan untuk menentukan ketetapan kawasan terbatas merokok.

Saya khawatir bakal terjadi tarik ulur antara kepentingan pemkot dengan kalangan masyarakat rokok, terutama kalangan pengusaha rokok dan pengusaha iklan rokok. Mereka tidak akan tinggal diam bila di wilayah yang selama ini dijadikan basis industri rokok ternyata terancam ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok. Apalagi menjamurnya iklan rokok yang hampir memenui setiap jalan-jalan startegis pasti terkena dampak dari Perda KTR ini.

Sudah jamak diketahui warga kota bahwa penataan reklame sangat semrawut dan banyak dikritik anggota DPRD Surabaya. Hal itu disebabkan lemahnya aparat pemkot dalam melakukan penertiban pemasangan reklame. Salah satu sumber keruwetan pelaksanaan reklame itu karena kelemahan Perda Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penyelenggaran Reklame dan Pajak Reklame. Bahkan Perda Nomor 8 Tahun 2006 meskipun baru berumur setahun, terancam digugat oleh DPRD Surabaya untuk dibatalkan.

Maka pasal-pasal “cek kosong” dalam Raperda KTR sangat rawan terjadi tindak penyelewengan aparat pemkot dalam menetapkan peraturan walikota sebagai pelaksanaan Perda KTR. Bisa terjadi “main mata” antara pengusaha rokok dan pengusaha iklan rokok dengan pejabat pemkot agar peraturan walikota tersebut tidak merugikan pihak mereka.

Perlu dipertimbangkan agar Raperda KTR tidak diteruskan pembahasannya di DPRD Surabaya. Sebab, bila dipaksakan akan berakibat Perda KTR bakal menjadi monumen masuknya kongkalikong antara pejabat pemkot dan para pengusahaan rokok dan pengusaha iklan rokok. Jika sudah seperti itu, maka membatalkan Perda yang sudah disahkan bukan pekerjaan yang mudah. Memerlukan ongkos sosial, politik dan pemborosan anggaran APBD. Lebih mudah melakukan revisi bahkan mencabut kembali peraturan soal rokok bila dituangkan lewat peraturan kepala daerah.

Sebagai bentuk kepatuhan Pemkot Surabaya terhadap PP Nomor 19 Tahun 2003 tidak harus diwujudkan dalam bentuk Perda. Apalagi pasal 25 PP ini hanya mewajibkan pemda untuk mewujudkan kawasan tanpa rokok, tidak ditegskan bentuknya harus melalui perda atau cukup dengan peraturan kepala daerah saja.

Saya lebih setuju bila Pemkot Surabaya meniru Pemda DKI Jakarta dalam mewujudkan kawasan tanpa rokok. Pemda DKI Jakarta tidak pernah punya Perda KTR. Dukungan Pemda DKI Jakarta terhadap pasal 25  PP Nomor 19 Tahun 2003 justru diwujudkan dalam bentuk peraturan gubernur.

DKI Jakarta punya Keputusan Gubernur Nomor 11 Tahun 2004 tentang Pengendalian Merokok di Tempat kerja di Lingkungan Propinsi DKI Jakarta. Tahun 2005 menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Kemudian diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 59 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Pengendalian Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR). Dan di tahun yang sama diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Kawasan Dilarang Merokok.

Saya yakin anggota Pansus Raperda KTR sudah memperoleh bahan hukum dari DKI Jakarta tersebut. Sebab akhir bulan Agustus 2007 yang lalu mereka mengadakan studi banding ke Jakarta. Sungguh ironis kalau mereka tidak tahu soal itu.