jump to navigation

Megawati Bertekad Saingi Golkar 2009 Desember 22, 2005

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , ,
trackback

Oleh Slamet Hariyanto

Meskipun pelaksanaan Pemilu 2009 masih kurang dari 3 tahun, ketua umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sudah mengeluarkan pernyataan politik untuk menyaingi Partai Golkar. Pernyataan itu menandai optimisme Mega untuk dapat merebut kembali kemenangan pemilu legislatif seperti pemilu 1999 dan siap menebus kekalahannya dalam pilpres 2004. Mega mengistilahkan kekalahannya di pilpres 2004 lalu hanya sebagai kekurangan suara. Putri Bung Karno ini bertekad merebut suara yang kurang itu pada pilpres 2009 nanti.

Faktor lain yang mendukung optimisme Mega adalah hasil pilkada tahap pertama tahun 2005 ternyata PDIP telah meraih kemenangan 42 persen. Kalkulasi itu untuk pemilihan bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota. Sedangkan diantara enam pilkada di tingkat propinsi, PDIP sudah meraih empat gubernur. Tapi masih ada faktor lain yang lupa diperhitungkan oleh Mega. Yakni kondisi internal Partai Golkar yang sedang solid, sedangkan PDIP mengalami perpecahan dengan berdirinya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).

Memang, PDP pimpinan Roy BB Janis dan kawan-kawan tidak akan bisa mengalahkan PDIP dalam Pemilu 2009. Hal itu sama dengan PNBK pimpinan Erros Djarot dan PITA pimpinan Dimyati Hartono pada Pemilu 2004. PNBK tidak mampu menyaingi PDIP, tapi bersama dengan PITA terbukti mampu menggerogoti suara PDIP. Itulah salah satu andil PDIP dikalahkan oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004.

Maka, sebenarnya kehadiran PDP itu punya peluang lebih besar untuk menggembosi suara PDIP ke depan. Potensi penggembosan PDP bisa lebih besar dari PNBK dan PITA. Karena PDP lebih banyak dibidani oleh para tokoh sentral di PDIP seperti Roy BB Janis, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Noviantika Nasution, dan lain-lain. Sedangkan PNBK hanya dua tokoh sentral (Erros Djarot, Hartas), dan PITA hanya seorang Dimyati Hartono.

Kendala lain yang dihadapi PDIP adalah masih sentralnya kekuasaan di tangan ketua umum dan ketergantungan partai pada sosok Megawati. Padahal untuk menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi kader partai diperlukan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pengurus daerah. Termasuk dalam hal menentukan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pengurus daerah juga akan menumbuhkan sikap pencarian alternatif sosok calon presiden dari PDIP.

Pencarian alternatif capres ini harus didasarkan pada perhitungan kekalahan Megawati pada pilpres 2004. Pemenangnya justru Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang termasuk figur baru dalam kancah pencalonan presiden. Di negeri ini belum ada contoh secara empiris seorang mantan presiden yang sudah lengser selama satu periode, dapat popular dan kembali berhasil meraih kemenangan pada pemilu berikutnya. Maka, pencalonan kembali Megawati dalam pilpres 2009 nanti perlu dipertimbangankan dari sudut pandang ini.

Apalagi persaingan dalam pilpres 2009 nanti minimal terhadap dua figur populer diluar sosok Megawati. Mereka adalah SBY dan Yusuf Kalla yang kemungkinan besar akan maju sendiri-sendiri dalam pilpres 2009. Keduanya sudah memiliki kendaraan politik yang sama-sama siap mengahadpi pilpres. Untuk menyaingi SBY dan Kalla perlu dicarikan figur baru yang lebih memiliki daya jual tinggi di mata rakyat. Sebab, seorang tokoh yang populer di internal parpolnya belum tentu punya daya jual tinggi di hadapan rakyat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, masalah serius yang dihadapi PDIP adalah sangat sulit mencari figur selain Megawati.

Dan faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja kader PDIP yang duduk di lembaga legislatif. Tingkat kepuasan rakyat itu hanya satu, yakni sampai sejauhmana PDIP membela kesejahteraan wong cilik. Sebab, merosotnya suara PDIP pada Pemilu 2004 lalu disebabkan kinerja kadernya di lembaga legislatif dianggap tidak peka lagi dengan kehidupan wong cilik. Kader PDIP di DPR dan DPRD hasil Pemilu 2004 sampai kini pun belum menunjukkan tanda-tanda signifikan untuk mewujudkan perjuangan terhadap kesejahteraan wong cilik ini.

Untuk menarik simpati wong cilik ke depan, mungkin PDIP sangat berharap dengan langkah politiknya menjadi oposisi terhadap pemerintahan SBY-Kalla. Sikap oposisi ini tidak bisa diterapkan secara nasional terhadap seluruh pemerintahan di daerah. Sebab, tidak seluruh daerah dipimpin oleh pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang aliran politiknya sama dengan SBY-Kalla. Bahkan, sikap oposisi terhadap pemerintah itu bisa kontra produktif ketika berada di daerah yang kebetulan kepala daerah atau wakilnya dijabat kader PDIP.

Kalau mau obyektif, PDIP perlu melakukan penelitian politik untuk mendeteksi umpan balik dari rakyat terhadap sikap oposisi terhadap pemerintahan saat ini. Jika ternyata, hasil penelitian ini tidak signifikan untuk menambah simpati rakyat terhadap PDIP, maka tekad Megawati untuk menyaingi Partai Golkar pada Pemilu 2009 nanti hanya mimpi belaka.