jump to navigation

Muhammadiyah Netral Pilkada Mei 26, 2008

Posted by Slamet Hariyanto in ANALISA POLITIK [ Nasional dan Lokal ].
Tags: , , , , ,
trackback

Oleh Slamet Hariyanto

Meski pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dipilih rakyat sudah berlangsung sejak 2005, namun Pimpinan Pusat Muhammadiyah baru mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 61/KEP/I.0/B/2008 tertanggal 25 Maret 2008. Isi SK tersebut tentang kebijakan PP Muhammadiyah dalam menghadapi pilkada. Entah, kenapa baru sekarang PP Muhammadiyah mengeluarkan “panduan politik” pilkada.


Ada sembilan poin yang dalam SK itu yang dijadikan tuntunan bagi anggota, warga, dan pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan. Intinya, persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan 1912 ini bersikap netral dalam pilkada.

Sikap netral itu sesuai dengan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan tajdid. Tentunya lapangan geraknya di bidang keagamaan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dan sesuai dengan khitahnya, Muhammadiyah tidak bergerak dalam lapangan dan kegiatan politik.

Maka, dalam urusan pilkada, Muhammadiyah tidak dalam kapasitas mendukung atau menolak para calon yang sedang berlaga. Sedangkan bila ada anggota pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan amal usaha yang menjadi calon dalam pilkada, diharuskan mendapat ijin dari pimpinan diatasnya, dan calon yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya di Muhammadiyah.

Ketentuan ini beda bila anggota pimpinan dan pimpinan amal usaha terlibat sebagai tim sukses dalam pilkada. Yang bersangkutan harus dinon-aktifkan dari jabatannya di Muhammadiyah hingga selesainya pilkada. Ketentuan ini juga berlaku bagi pimpinan majelis, lembaga, badan, ortom (organisasi otonom), dan institusi lainnya di lingkungan Muhammadiyah.

Dibalik sikap tegas itu PP Muhammadiyah dalam SK tersebut juga memberi “panduan politik” kepada warga Muhammadiyah. Hal itu nampak dalam poin 2, 3, 6, 7, dan 8. Artinya, dari sembilan poin dalam SK tersebut, sebanyak lima poin atau lebih dari separuhnya berisi “panduan politik”.

Yang menarik dalam “panduan politik” tersebut adalah jika diperlukan demi kemaslahatan umat dan masyarakat luas, maka pimpinan wilayah (propinsi), pimpinan daerah (kabupaten/kota) diperbolehkan memberikan kriteria-kriteria moral dan kualitas yang berkaitan dengan kelayakan calon peserta pilkada. Tentu yang dimaksud dengan kriteria kepemimpinan dan kualifikasinya harus sejalan dengan pandangan Muhammadiyah yang anti korupsi.

Seluruh jajaran pimpinan dan warga Muhammadiyah juga diminta ikut mendorong dan mensukseskan pilkada yang jujur, bersih, demokratis, berorientasi kepada kepentingan rakyat, mencegah praktik money politics, dan tidak melanggar norma-norma agama. Juga ada anjuran kepada anggota dan warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya secara cerdas, kritis, dan mempertimbangkan kepentingan/kemaslahatan Muhammadiyah, umat, dan masyarakat di wilayah/daerah yang bersangkutan.

Lantas, bagaimana keampuhan SK PP Muhammadiyah tersebut ketika sampai di lapangan politik tingkat propinsi, kabupaten/kota yang menggelar pilkada? Pertama, pimpinan Muhammadiyah yang menjadi calon dalam pilkada pasti mematuhi aturan tersebut. Yakni mundur dari jabatannya di Muhammadiyah.

Kedua, jajaran pimpinan Muhammadiyah secara cerdas tidak akan menjadi tim sukses calon dalam pilkada. Dengan demikian, bakal tidak ada pelanggaran yang dilakukan jajaran pimpinan Muhammadiyah.

Ketiga, bakal banyak terjadi pelanggaran pada tingkat pimpinan ortom, majelis, lembaga, badan dan institusi di lingkungan Muhammadiyah terhadap SK pimpinan pusat tersebut. Mereka, terutama yang menjadi aktifis parpol sudah dipastikan bakal menjadi tim sukses calon dalam pilkada. Dalam kaitan ini seharusnya menurut SK PP Muhammadiyah mereka harus dinon-aktifkan dari jabatan di lingkungan Muhammadiyah.

Dalam konteks ini saya meyakini bahwa jarang ada niatan dari kader persyarikatan ini untuk melaksanakan perintah “non aktif” tersebut melalui mekanisme resmi organisasi. Sebab, SK itu tidak mengatur sanksi bagi pihak yang melanggarnya.

Keempat, warga Muhammadiyah sudah paham apa yang menjadi “suasana batin” dalam memaknai anjuran menggunakan hak pilih secara cerdas, kritis, dan mempertimbangkan kepentingan/kemaslahatan persyarikatan, umat, masyarakat di wilayah/daerah yang bersangkutan. Kongkretnya, warga Muhammadiyah sudah terbiasa bersikap cerdas dalam pilihan politiknya.

Biasanya warga Muhammadiyah selalu mempertimbangkan kepentingan politik yang menjadi pilihannya. Warga Muhammadiyah yang menjadi aktifis parpol, pasti memilih calon yang diusung parpolnya dalam pilkada. Pertimbangan ini sudah tidak ada hubungannya dengan pilihan cerdas atau tidak cerdas.

Hal ini berbeda dengan pilihan warga Muhammadiyah yang tidak aktif di parpol. Kelompok terakhir ini yang dikategorikan sebagai pemilih cerdas. Mereka akan menjatuhkan pilihan politiknya dalam pilkada dikaitkan dengan pertimbangan kepentingan persyarikatan, umat, masyarakat di wilayah/daerah yang bersangkutan. Jika dalam pilkada tersebut ternyata tidak ada kader Muhammadiyah yang menjadi calon, maka kelompok ini akan bersikap golput (tidak memilih).